Frost Village

2K 281 13
                                    

Written on: 2 Januari 2017
Revised on: 18 September 2018

Genre: Mystery/Thriller

***

Langkahku melemah, rasanya kakiku tak mampu lagi menahan bobot tubuhku. Salju tebal yang menumpuk membuatku makin lelah. Badai salju di depan mata dan sekelilingku yang penuh dengan pepohonan kering yang rantingnya saling bergesekan menambah rasa nyilu di pendengaranku. 

Kuabaikan tubuhku yang mulai mati rasa, langkahku yang semakin berat karena harus berjalan di tumpukan salju yang tingginya sudah di atas lututku.

Sial, sial! 

Seharusnya aku tak pernah mengikuti ajakan bodoh Angelos. Dia yang membuatku seperti ini, dua hari tanpa makanan di atas gunung es yang membeku.

Aku akan mati bila tidak segera mencari pertolongan. But come on, man! Tidak ada orang segila itu yang akan berkeliaran di salah satu puncak Himalaya yang jalur pendakiannya bukan jalur favorit para pecinta gunung.

Dan di sini aku dipaksa untuk selalu merasa bersyukur. Maksudku, aku masih di sini, di pegunungan es, dengan perlengkapan pendakian yang masih lengkap. 

Aku benar-benar tidak bisa berpikir lagi kalau aku diterlantarkan seperti ini di gurun Sahara. Kehausan, kelaparan, dan apalagi yang paling menyedihkan dari semua itu? Terik matahari yang membakar? Kurasa tidak, aku benar-benar ingin merasakan terik matahari saat ini. 

Baiklah, tenang.

At least, aku hanya perlu mengunyah salju untuk mengurangi dahaga (Bohong sih, ini sangat tidak disarankan, kecuali kalau sangat darurat dan kau siap merasakan nyilu berat di gigimu). Kalau di sini ... sial! Di sini benar-benar sangat dingin!

Badai semakin kencang, beberapa kali tubuhku hampir roboh dan berbaring pada tumpukan salju yang selembut ranjang kamarku yang hangat di rumahku.

Ah, tidak, tidak. Aku tidak boleh begini terus, aku benar-benar akan mati jika terus-terusan begini. Sebaiknya aku terus berjalan, mengabaikan rasa kantuk ini. Aku tahu wajahku sudah sangat buruk karena sudah nyaris tak tidur dua hari, tapi ayolah, tidak ada siapapun yang akan melihat wajahmu di sini. Kalaupun ada, harusnya aku bersyukur, mungkin aku mendapat pertolongan.

Badai masih berlangsung, aku mulai bingung dengan langkah yang kujalani. Apa karena badai aku jadi kehilangan arah? Apa mungkin aku berbalik ke jalan yang tadi? Ya ampun, bagaimana aku mengetahuinya?

"Sial," umpatku sambil menggosokan dua sarung tanganku yang basah. Membuangnya pun sayang karena aku ingat berapa USD yang kuhabiskan untuk sarung ini, 200 USD. Melepaskannya pun bodoh, karena salju yang amat dingin siap mendarat kapanpun di telapak tanganku.

Ransel beratku yang berisi pelengkapan mendakiku masih utuh dan tentu saja berat. Tambang sepuluh meter yang membawaku ke tempat terkutuk ini masih kusimpan sebagai kenang-kenangan—sebenarnya aku menyimpannya karena bisa saja sewaktu-waktu aku menemukan jalan turun yang terjal.

Jalan mulai menurun dan aku mencoba berhati-hati, aku berpegangan pada dahan yang kuat, dengan bantuan tumpukan salju yang ada, aku memanfaatkannya sebagai penahan kakiku agar tidak terseret ke bawah.

Melupakan ketidakberdayaan diriku, aku akhirnya jatuh ke bawah dalam keadaan yang sangat buruk. Sangat! Aku terjatuh dengan tidak elite, lebih mirip bayi yang baru belajar berjalan daripada orang keren yang berusaha menyelamatkan dirinya dari dataran terjal.

Setelah menguatkan diriku, aku pun bangkit pelan-pelan, kutarik napas panjang dan memperhatikan uap yang keluar dari mulutku. Ah, sialan, aku masih bernapas, huh?

Full Of FoolsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang