I Hate You

8.5K 623 99
                                    

Dibuat tanggal : 19 Maret 2011-1 April 2011

Genre : Teenfict, Oneshot.

[Catatan: Ini gajelas sumpah. Bingung yak, kenapa saya nulis teenfict? Samaaa! Dulu kayaknya saya hobi teenfict, tapi sekarang udah beralih ke Fantasy. LMAO.]

***

"Cepet banget ya, kita kelas enam... bentar lagi ujian, habis itu perpisahan. Terus, kita semua mencar," gumamku sedih kepada kedua sahabatku.

"Hm," jawab mereka berdua dengan sama sedihnya.

"Cepet banget kita kelas enamnya, padahal dulu awal ketemu itu kita kelas satu SD... masih kecil banget kita," lirihku lagi, dan dibalas anggukan oleh mereka.

"Hanya ada satu hal yang tak berubah..." Aku menaikkan kepalaku, ingin mengatakan 'Persahabatan' guna membuat kedua sahabatku ini menangis terisak, sebelum akhirnya dia datang dan mengacaukan segalanya. "Persaha-"

"Yeah, tinggi badanmu."

Tanganku seolah tercipta hanya untuk mencubit tangannya, sebab pemadangan dimana aku mencubitnya dan dia mengaduh kesakitan itu seperti sudah menjadi sarapan untuk seisi kelas--sudah biasa.

"AW!" Dia mengaduh kesakitan. "Apaan sih, kan aku bilang kenyataan!"

"Iya, gausah frontal kayak gitu juga dong!" makiku tanpa berhenti mencubitinya.

"Mesra amat, ciyeee," goda sahabat baiknya, yang membuatku memanas dan akhirnya memutuskan untuk menjauh dari mereka.

"Capek tau nggak sih, berantem mulu sama kamu! Sifatmu masih aja kayak anak-anak, padahal kita udah mau lulus SD!" seruku dengan berapi-api.

"Ye, kamu-nya juga kayak anak-anak, diledekin dikit langsung meledak," ucapnya dengan penuh dengan tatapan mengejek. Tangannya yang berada disisi tubuhnya tiba-tiba terangkat dan ditaruhnya di puncak kepalaku sebelum akhirnya menariknya kembali ke lehernya. "Tinggimu juga kayak anak-anak."

Dan aku benar-benar meledak.

"AKU BENCI KAMU!"

***

Pada kenyataannya, setelah selesai ujian dan kami mengadakan acara perpisahan, melewati semuanya dengan begitu normal, aku tidak tahu bagaimana bisa aku masih bingung dengan diriku sendiri yang tak kunjung meminta maaf dengannya, meskipun aku tidak pernah merasa bahwa aku yang salah, karena yang diledekin itu aku, bukan dia.

Aku masih marah dengannya sampai akhirnya salah satu temanku mengabarkan padaku tentang apa yang terjadi padanya setelah seminggu acara perpisahan kami terlewat.

"Hah?"

Aku mengerjapkan mataku tak percaya. Dibalik telepon, perkataan mereka terdengar terlalu serius untuk kucerna. Aku sempat berpikir bahwa aku tengah di prank call atau mungkin ini usaha yang dilakukan oleh teman sekelasku yang tahu bahwa hubungan kami tak dalam keadaan baik-baik saja setelah aku membentaknya di depan kelas dan di hadapan semua orang, namun nada yang serius itu membuatku mau tak mau harus mempercayai perkataannya.

"Iya... Nanti kita mau jenguk dia, mau ikutan?"

Terdengar penuh dengan bualan dan dusta, namun aku tak percaya bahwa aku mempercayainya, dan dengan perasaan cemas dan penuh keyakinan, aku menjawab, "Iya, aku ikut."

.

.

.

Dan mataku tak bisa berhenti menatapnya--sama seperti teman-temanku yang lain, semuanya menatapnya iba. Matanya menatap kami semua dengan sorot bingung, sebelum akhirnya sahabat mainnya menunjuk dirinya sendiri dan berbicara dengan sedikit ragu.

Full Of FoolsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang