Suara teriakan Claud membahana dalam proses pendaratanku yang mulus.
Dari bawah kulihat Claud yang marah memerintahkan seluruh anak buahnya untuk segera menangkap ku.
Ketika aku berbalik, sekawanan penyihir hitam sedang berlari ke tempatku. Berusaha menyergap dari satu arah. Ekspresi mereka sangat kejam.
Tepat di detik itu juga, hujan panah memenuhi seluruh tempat ini. Para penyihir itu menjerit kesakitan sebelum akhirnya berubah menjadi debu hijau.
Saat kupandangi awan kulihat pemandangan paling keren dalam hidupku.
Puluhan makhluk bersayap memenuhi langit. Panah emas mereka berkilatan menembusi tubuh kaum Black Enchanters. Salah satu manusia bersayap itu menukik ke arahku.
Itu Arkin!.
Kegembiraanku meluap-luap. Aku mendesah lega.
"Gadis bodoh! Apa tak bisa bersabar sedikit, bagaimana bila tadi terluka?" Setengah membentak. Tapi pemuda itu langsung memelukku erat. Sayapnya menyelubungi ku ketika dia melakukan itu.
"Ayo, kita harus pergi dari sini". tukasnya. Seraya melepaskan pelukan.
Ketika kami berpaling, sosok Coleman berdiri di hadapan kami, siap berubah sepenuhnya. Siapa sangka dia memang seorang lycans.
Di belakangnya sepleton kaum pengubah bentuk juga mulai bersiap untuk mengubah diri.
Arkin memaki satu kali, baru kali ini kulihat dia begitu kesal.
"Moira cepat pergi dari sini. Kita bertemu di hutan belakang" perintahnya.
Tanpa menunggu persetujuanku, dia langsung mendorongku keluar dari lingkaran pertarungan.
Hal terakhir yang kulihat sebelum kabur adalah kilatan pedang agilberta miliknya sudah di penuhi darah para musuh, dibarengi auman marah Coleman yang telah berubah bentuk.
Kakiku berlari secepat mungkin meninggalkan area ritual tersebut. Beberapa kali nyaris terjatuh akibat diserang oleh kawanan kaum terkutuk ini, tapi pertolongan datang dari penyihir berbaju ungu-perak, yang segera aku kenali sebagai seragam orang Trimagisterium.
"Titik aman ada di hutan belakang, cepat pergi!" teriak salah seorang penyihir. Yang wajahnya bahkan baru kukenali saat itu.
Aku nyaris mencapai perbatasan hutan, saat sekawanan Black Enchanters dengan cepat berubah menjadi were-Bat serta menghadang langkahku.
Karena kurang persiapan aku nyaris tak menghindar ketika mereka menerkam, membuatku jatuh ke atas tanah, salah satunya siap menghujamkan cakar ke arah bahu kiri.
Namun serangan itu berhasil digagalkan. Karena di waktu bersamaan, sepasang burung elang raksasa meluncur dari atas langit. Menghujamkan cakar mereka ke arah para were-bat.
Aku tertegun kala memandangi sepasang bola mata familiar milik kedua elang tersebut.
"Dhammir" kataku. Penuh kekaguman.
Elang- Dhammir memiliki sayap berbulu keemasan, badannya lebih pendek dari elang berbulu coklat gelap disampingnya.
Aku langsung tahu kalau elang satunya lagi adalah Vlad.
Inilah pertama kalinya aku melihat wujud asli mereka.
'Ikuti jalan setapak di kanan hutan, lalu kamu akan menemukan Jean'
Dhammir berkomunikasi melalui benaknya.
Menganggukkan kepala, aku mengucapkan terima kasih lantas segera pergi sesuai arahan Dhammir.
Kakiku berlari sekencang mungkin. Keinginanku untuk tetap hidup dan bertahan amat kuat.
Aku harus terus bertahan, karena ada begitu banyak orang menolongku hingga mempertaruhkan nyawa mereka malam ini. Jangan jadikan pengorbanan mereka sia-sia. Itu sebabnya mulai sekarang semua tindakanku harus lebih rasional serta hati-hati.
Atensiku teralihkan sejenak, kala mendengar bunyi ledakan hebat yang datang dari areal ritual, tapi sekarang menjadi ajang pembantaian.
Berdoa dalam hati supaya ledakan itu ditujukan untuk musuh kami bukan sebaliknya.
Akibat kurang memperhatikan jalan, kakiku tergelincir karena tersandung dahan ranting basah, nyaris saja terguling ke jurang saat sepasang tangan menangkap lenganku.
"Melisa!".
Dia sudah berganti baju. Dan berusaha membantuku untuk naik. Namun dalam prosesnya baju Melisa sobek akibat tergores ranting tajam. Dan ketika hampir berhasil, dahan lain mengenai kausnya di bagian perut area kanan.
"Apa kamu baik-baik saja? Bagaimana kamu bisa ada di sini" tanyaku. Nafasku tak beraturan. Kami berdua berusaha bangkit berdiri.
"Aku mencarimu tahu. Kamu terlalu lama dan membuat Jean khawatir" jawab Melisa. Suaranya terdengar lebih tenang dari pada semestinya.
"Bantuan yang datang banyak juga. Syukurlah" aku tersenyum seraya membersihkan kotoran dari wajah.
"Anggota Trimagisterium dan Holy Knight yang bisa dikumpulkan dalam waktu singkat. Kudengar masih akan ada banyak lagi" jawab Melisa sambil merenggangkan kakinya bahunya yang terlihat kesakitan. Mungkin akibat menarik ku barusan.
"Aku melihat semuanya tadi" dia menambahkan. Berjalan mendekati ku. "Harusnya kamu bisa menghajar si kembar Tarlson yang mengapit mu. Mereka itu bodoh"
Awalnya aku tertawa, hingga sebersit pikiran mengganjal benakku.
" Tunggu dulu, darimana kamu tahu nama kedua penyihir hitam itu? Aku saja tidak tahu. Dan bagaimana kamu tahu mereka kembar? Apa tampak jelas. Dan bukannya kamu serta Jean sedang berjaga di hutan saat peristiwa awal ritual terjadi?".
Semua pertanyaan ini spontan terlontar dari mulutku.
Lalu.
Kami berdua terdiam. Tidak ada yang bergerak.
Saat itulah aku menangkap kilatan aneh pada kedua matanya.
Dan aku tak perlu menunggu dia memberi jawaban, karena sekarang atensi ku sepenuhnya tertuju pada pinggang samping kanan Melisa yang terbuka akibat bajunya sobek.
Kedua pupil melebar. Organ dalam tubuh seakan melorot jatuh di atas tanah. Dan jantungku bagai diremas kencang hingga kesulitan bernafas.
Aku melihatnya. Itu tandanya.
Tidak...tidak mungkin...
Aku membatin.
Mundur dua langkah.
Menggelengkan kepalaku."Mel...".
Melisa tahu apa yang akhirnya aku sadari.
Saat itulah aku melihat perubah warna pada kedua iris nya. Dari coklat kopi menjadi....
....merah....
Tidak.....
"Well, rupanya kamu tak sepintar itu ya Moira. Butuh waktu selama ini untuk menyadarinya" suara Melisa menjadi dingin. Begitu juga caranya menatapku.
Dia juga seorang Black Enchanters!.
🌠🌠🌠🌠🌠🌠
KAMU SEDANG MEMBACA
[COMPLETED] Nefertiti Trilogy (Book #01 : Midnight Sun).
FantasíaMoira Lexxus telah menjadi seorang yatim piatu sejak berusia 6 tahun. Dan demi menyembunyikan identitasnya sebagai seorang Nefertiti, Moira terpaksa kembali ke kota Muine, kampung halaman ibunya. Tempat di mana dia akan mendapat perlindungan...