24 - Renggang

326 32 0
                                    

"Hai, apa aku menganggumu?"

"Tentu saja! Untuk apa kau menelponku di jam tiga pagi seperti ini?" Suara di seberang tampak protes. Mohammed meringis menanggapinya.

"Tapi aku sedang ingin berbicara dengan seseorang," Mohammed duduk dengan nyaman di atas ranjang, meletakkan bantal abu-abunya di pangkuan, matanya mengarah ke langit-langit kamarnya. "Akhir-akhir ini aku sulit tidur."

"Oh ya?"

"Iya, makanya aku cari teman ngobrol."

"Bicaralah dengan yang lain, atau kalau tidak dengan peliharaanmu." Tukas Rukshar terdengar masih mengantuk, sebenarnya Mohammed juga tidak tega tapi berhubung Mohammed inginnya bicara dengan Rukshar apa boleh buat?

"Kau tahu tidak kenapa aku sekarang sulit tidur?"

Dari seberang, Rukshar mendegus mencoba mengalah, daripada meladeni sifatnya yang kekanakan ini. Mendengarkan bukanlah hal yang buruk, mungkin saja Mohammed memang sedang ingin didengarkan.

Rukshar terus menempelkan ponsel ke telinga, mengubah posisi dari terlentang menjadi duduk agar lebih nyaman kemudian mengusap wajah pelan.

"Apa?"

"Aku jadi sering berpikir soal isyarat takdir yang pernah aku bicarakan waktu itu," kata Mohammed jujur. Intonasinya terdengar polos. "Setelah kupikir-pikir kau dan aku selalu memiliki sesuatu yang sama dan itu selalu penting dalam hidup. Seperti ulang tahun kita yang sama, selalu datang di suatu tempat tanpa disengaja secara bersamaan, dan bahkan hoodie yang kita kenakan waktu itu sama!"

Rukshar menunduk terus mendengarkan.

"Dan arti mimpi itu,"

"Mohammed sudah aku katakan jangan terlalu menganggap ini penting."

"Jika tidak penting kenapa selalu terjadi berulang?" Sanggah Mohammed.

"Tolong jangan kaitkan ini sebagai takdir atau apapun yang bisa membuat pusing, Mohammed." Rukshar mengelus pelipisnya, pembicaraan ini seperti tidak ada gunanya.

Mohammed diam sejenak mendengar hembusan angin seperti mengetuk pelan jendela kamar, debu halus dari padang pasir beterbangan di ventilasi kamarnya, dia terlanjur tenggelam dalam obrolan malam ini.

"Apakah memang kita ditakdirkan untuk bersama?"

Terdengar suara tawa, "kau ini bicara apa?"

"Bagaimana kalau yang mirip Cinderrella? Apa sebenarnya aku ini pangeran yang akan menjemputmu dengan kuda putih?"

Rukshar menepuk jidat, ada-ada saja pangeran ini. Pikirannya masih jelas belum dewasa, itu maklum karena usia mereka adalah fase dimana mereka mencari jati diri. Menebak apa kata takdir selanjutnya adalah bagian dari semua ini.

Tapi kalau menganggap semua ini mirip seperti dongeng ...

Mohammed benar-benar gila! Batin Rukshar jengah.

Ini adalah dunia nyata, tidak ada sepatu kaca atau ibu peri yang akan mengabulkan permintaan karena kau baik hati. Dia memang yatim piatu, miskin papa dan memiliki kehidupan yang keras, bukan berarti diantara semua itu dia akan menjadi seperti Cinderella.

Ah, berbicara dengannya jadi ikut menjadi gila. Percakapan ini tidak ada faedahnya. Hanya menebak apa yang tidak pasti dengan angan-angan indah belaka. Kehidupan tidak seindah itu kecuali bagi Mohammed yang tidak pernah merasakan pahitnya kehidupan. Rukshar membatin lama, menerawang jendela kaca yang terbuka.

"Aku bukan Cinderella?"

"Yah .. aku hanya menebak. Bisa saja setelah kehidupan kerasmu ini cukup Allah akan mendatangkan padamu seorang pangeran yang membuat hidupmu menjadi lebih baik."

Story of Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang