Ujian tengah semester dua sudah berada di depan mata. Itu berarti, tinggal tiga bulan menuju olimpiade Kompetisi Sains Nasional, sekaligus berlangsungnya perang jilid ketiga di tahun pertama SMA bagi rakyat MaFiKiBi Society. Mereka memang masih aktif mengikuti kegiatan pembinaan KSN dari guru-guru Persatas—yang akhir-akhir ini, frekuensi pertemuannya semakin tinggi saja, mengingat waktu pelaksanaan yang terus mendekat—tetapi bukan berarti jadwal program-program Republik MaFiKiBi Society diliburkan.
Perbedaannya, karena sudah ditunjang pembinaan masing-masing bidang di sekolah, maka MS meminimalisir jadwal POM BENSIN, Pembekalan Olimpiade MaFiKiBi Society Bersiap sampai Nasional. Mereka lebih memperbanyak porsi belajar untuk Penilaian Tengah Semester, yang jelas-jelas sudah dekat. Prinsip mereka, seberapa banyak pun sertifikat dan medali yang dikoleksi dari olimpiade bergengsi, tetap tak akan pernah cukup jadi alasan untuk bersantai dan mengabaikan usaha peningkatan nilai di sekolah.
Pekan UTS pun berlalu. Seperti biasa, di tengah pagi yang kian meninggi, dengan cahaya mentari yang menyorot ganas, seluruh siswa Persatas dari tiga angkatan disuruh berkumpul di lapangan. Keempat Agen MaFiKiBi Society sama-sama memasang wajah paling sangarnya, hari ini, kecuali Mat. Meski dalam suasana yang masih menolak damai, sebagai bentuk rivalitas di peperangan ini, Mat tak sampai bertingkah sedramatis ketiga teman lainnya.
Di pinggiran lapangan yang dinaungi pohon kersen, Bintang mengepalkan tangan erat-erat. Tak jauh berbeda dengan Alfis dan Kiano. Ketiganya melangitkan bait-bait harapan yang sama. Jangan sampai juara pertama itu masih dikuasai nama yang sama seperti peraihan nilai di akhir semester satu. Jangan sampai.
Kedua alis tebal Alfis menukik tajam. Netra abu-abu miliknya semakin tenggelam, berusaha menyesuaikan diri dengan intensitas cahaya mentari yang menyilaukan. Kini, mata itu hanya menyisakan satu garis lurus, persis suatu kurva diagram cartesius di mana y=0. Punggung Alfis sudah basah sejak tadi. Panas ganas, gerah parah. Akan tetapi, sesulit apa pun keadaan mereka—sampai kebas, bosan menunggu, atau pegal-pegal karena terlalu lama berdiri—selama Bu Elis dan Miss Ayie belum mengumumkan siapa peraih nilai tertinggi itu, mereka akan terus bergeming di posisinya.
Sebagaimana tradisi, tiga besar juara paralel selalu diumumkan dari kelas sebelas lebih dahulu. Bintang masih memicingkan mata, tak mau kehilangan fokus. Lewat mikrofon, Bu Elis berseru, "Untuk tingkat kelas sebelas, juara ketiga, dengan perolehan nilai 93.4, atas nama ... Elenio Saputra, XI MIPA-5!"
Mat menyilangkan tangan di depan dada. Elenio Saputra ... kalau tidak salah, itu nama yang sama seperti peraih juara paralel ketiga di akhir semester kemarin. Juara bertahan? Namun, dengan posisi yang cukup tinggi itu, kenapa Mat tidak pernah melihatnya berpartisipasi dalam kegiatan olimpiade, ya?
Juara kedua disebutkan, Pilar Ardika. Kedua alis Mat mengerut, Kak Pilar itu ... bukannya juara pertama, ya, sebelumnya? Pilar adalah kakak kelas sekaligus rekan satu tim bagi Mat, sebagai sesama delegasi Persatas untuk KSN bidang Matematika. Mat akui, jam terbang yang dimiliki kakak kelasnya itu memang sangatlah tinggi. Kini ... siapa yang bisa mengalahkan nilai tengah semester Pilar, sampai menggeser posisinya begini?
KAMU SEDANG MEMBACA
MaFiKiBi Society✓
Teen FictionSekumpulan geng motor yang punya pamor? Pasukan bad boy cap badak yang punya penggemar membludak? Bukan. Ini kisah tentang Perserikatan MaFiKiBi Society, yang tak pernah lelah atau menyerah untuk terus ciptakan langkah. Mat hanya ingin memenangkan o...