Dunia Bintang runtuh. Hanya sisakan rimpuh. Telinganya tak lagi mendengar suasana di lapangan yang gaduh, masih dipenuhi tepuk tangan riuh.
Frekuensi detakan jantung Bintang terasa terus meningkat, bertalu-talu semakin cepat. Untuk sesaat—yang Bintang inginnya hingga sepanjang waktu saja—Bintang lupa caranya menarik napas. Seolah berada di dalam suatu dimensi tanpa nama yang tak mengenal ruang dan waktu, setiap penjuru hati Bintang mati rasa, digempur berjuta sembilu habis-habisan.
Tiga detik berlalu. Bius itu seakan kehabisan dosis. Rasa sakit mulai menjalar, hingga setiap sendinya terus bergetar. Tak tahan lagi, Bintang berlari kencang. Tak peduli dengan indra penglihatannya yang mulai dikaburkan genangan air mata, Bintang menuruni panggung.
Di tengah undakan, Bintang kehilangan keseimbangan, salah mengambil langkah. Tubuh ringkihnya berdebam jatuh di atas permukaan lapangan yang kasar. Tangisan Bintang pecah. Tidak, tidak. Jangan sekarang. Masih dalam posisi jatuh terduduk, Bintang berniat bangun. Akan tetapi, kakinya tak bisa diajak kerja sama. Tremor parah.
Papa .... Bintang lemah. Bintang ingin uluran tangan juga rengkuhan hangat yang selalu kau tawarkan di saat Bintang jatuh dari sepeda. Bintang jatuh, Pa ....
Tidak, tidak. Papa tidak pernah menginginkan Bintang lembek begini. Dulu saja, Bintang pernah jatuh dari tangga saat lari-lari di lantai atas sekolah dasarnya. Bintang menangis, persis seperti ini. Mat yang menggendongnya sampai rumah. Bintang yang kesakitan, tetapi Papa malah meminta Bintang jadi anak yang baik dan lebih kuat, biar tidak lagi menyusahkan Mat. Bintang harus bangkit ....
Beberapa anak mulai menghampiri Bintang, di antaranya dua anak PMR yang bertugas di pinggir lapangan untuk menangani sekiranya ada siswa yang mengalami hal-hal tidak diinginkan. Seruan-seruan kaget mulai menggema di sekitar. Beberapa anak lainnya hanya menjulurkan kepala dari kejauhan, mencari tahu apa yang tengah terjadi.
Bintang anak yang kuat .... Tangan Bintang yang masih menggenggam ponsel dan selembar karya puisinya itu kini mencengkeram lutut kuat-kuat. Sebelum orang lain mencapainya, Bintang sudah meletakkan kedua tangannya di pijakan, berusaha memberikan tenaga ekstra sebagai penyangga tubuhnya. Bintang bisa.
Langkah orang-orang terhenti begitu menyaksikan Bintang yang sudah kembali berlarian, meski air mata malah semakin deras meluncur. Kerumunan tersibak dengan sendirinya, memberikan jalan yang lebih leluasa bagi langkah Bintang. Beberapa kernyitan kening tercipta. Akan tetapi, tak ada satu pun yang berani menegur Bintang untuk menanyakan apa yang sedang ada di benaknya.
"Bi!" Pada akhirnya, suara itu yang terdengar. Setiap sel di otak Bintang terasa korslet. Tidak ada perintah bawah sadar untuk menghindari hadangan tubuh Mat di dekat gerbang samping.
Tangan hangat Mat menggenggam kedua telapak tangan Bintang, erat. Bintang memberontak. Isakannya malah semakin keras. Dengan mengerahkan seluruh tenaga yang ia punya, Bintang berusaha mengempaskan tangan Mat. Bintang hanya ingin pulang .... Tak peduli meski itu berarti ia harus berlarian untuk ke rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
MaFiKiBi Society✓
Roman pour AdolescentsSekumpulan geng motor yang punya pamor? Pasukan bad boy cap badak yang punya penggemar membludak? Bukan. Ini kisah tentang Perserikatan MaFiKiBi Society, yang tak pernah lelah atau menyerah untuk terus ciptakan langkah. Mat hanya ingin memenangkan o...