04| Persimpangan Angan

206 64 488
                                    

"Perut kenyang, merdeka jiwa!" Tanpa merasa ragu, Kiano membanting punggungnya di atas rerumputan tebal di halaman depan rumah Mat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Perut kenyang, merdeka jiwa!" Tanpa merasa ragu, Kiano membanting punggungnya di atas rerumputan tebal di halaman depan rumah Mat. Ranselnya sudah dilemparkan sembarangan, sejak awal.

Tiga orang lainnya tak menanggapi. Tanpa kata, tanpa bahasa, mereka satu persatu ikut menyimpan tas di pinggir, lalu menghempaskan badan juga di samping Kiano. Entah bermula sejak kapan dan bagaimana, rebahan untuk menonton kemegahan angkasa raya sudah menjadi ritual tanpa nama di MaFiKiBi Society. Jika sudah seperti ini, mereka bisa membangun percakapan panjang tanpa suara dengan semesta.

Hari masih pagi. Sebersit cahaya mentari menembus selaput awan putih, lalu menerobos celah-celah dedaunan di pohon yang rindang. Sinar menyilaukan yang datang tiba-tiba itu tepat menimpa Kiano, membuatnya lekas saja memosisikan lengan kirinya tepat di depan mata, menghalau cahaya yang tidak sopan itu.

"Tiada adab! Cahaya matahari saja segitu nge-fans-nya pada seorang Kiano Aldebaran. Memang berat, ya, menjadi sosok paling dicintai oleh makhluk biotik dan abiotik. Hanya aku, Kiano, yang mampu memikulnya." Seolah sengaja, cahaya matahari itu malah semakin menyorot Kiano dari atas sampai bawah. Kini, Kiano sudah mirip sekali dengan kelabang terpanggang. "Ow, chill out, Sun! Kau masih bisa mengagumi pesonaku, meski sudah tenggelam nanti. Aku pamit! Kau dapat ciuman spesial dariku, Matahari. Muah. Bye."

Tak tahan lagi, Kiano pun menyerah. Tergesa, Kiano melesat kabur terbirit-birit layaknya orang cepirit. Diambilnya ransel, lalu Kiano lekas memasuki basecamp mereka yang sudah dibuka kuncinya oleh Mat, sejak awal. Mau tak mau, Mat, Alfis, dan Bintang pun turut mengikuti Kiano. Mentari memang sudah meninggi untuk sampai di titik zenit, saat ini. Pertengahan hari hanya terhitung beberapa menit lagi dari sekarang.

Di atas karpet, Kiano sudah tampak meluruskan kaki sambil tak henti menyugar rambutnya, sok keren. Demi mendapati pemandangan paling busuk yang pernah Bintang temui dalam hidupnya—selain timbunan sampah di tempat pembuangan akhir—Bintang menahan muntah habis-habisan. "Tidak bisakah kau berhenti sok kegantengan seperti itu, sesekali? Iw. Mukamu jauh lebih pantas sebagai peran mengenaskan yang jadi alergen bagi setiap manusia."

"Ah, Possessive Sun. Mentari selalu saja begitu, ingin memilikiku seutuhnya." Kiano masih saja bermonolog dengan narsisme selangit, sudah stadium akhir. Detik berikutnya, barulah Kiano mengembalikan fokusnya pada Bintang. "Alergen? Bagi setiap manusia? Sadarlah, Bung. Bukankah kita selalu menghabiskan waktu bersama? Tetapi kau bahkan tidak mengeluarkan gejala alergi sama sekali. Oh, aku baru teringat. Kau memang bukan manusia, ya. Hm, impresif."

Termakan omongannya sendiri, Bintang menekukkan bibirnya ke bawah, keki setengah mati. "Mana ada. Aku, Mat, dan Alfis sudah pakai alat pelindung diri, bahkan vaksin yang kebal untuk menghadapi spesies asing sepertimu. Kapan kau mau kembali ke habitat asalmu di outer space sana, Ki? Jangan durhaka! Keluarga aslimu pasti sedang berharap-harap cemas agar kau cepat pulang, ke rumahmu, di cincin Saturnus."

"Hei, apa-apaan? Aku tahu kau mengidolakanku, wahai fans pertama. Tapi jangan pernah bicara sembarangan! Bunda Nurand akan sakit hati jika mendengar kau mengatakan hoax penuh omong kosong itu tentang anak kesayangannya yang tampan maksimal dan rajin menabung ini."

MaFiKiBi Society✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang