Semesta di mana terdapat eksistensi ekosistem mereka berempat, mendadak terasa remuk di sana-sini. Elemen-elemen pembangunnya hancur dan dibawa pergi oleh kesiur angin. Suasana tidak menyenangkan itu diakhiri Bintang yang langsung berlarian dari Jembatan Cimulu.
Ketiga teman lainnya hanya bisa mengamati kepergian itu dalam diam. Kepergian seseorang yang memutuskan untuk berbalik arah dan meninggalkan perjalanan mereka sejauh ini, setelah begitu banyaknya subbab-subbab kehidupan yang dituliskan bersama, sebelumnya.
Tak ada satu pun yang berniat untuk angkat suara. Mereka sama-sama dilahap senyap. Kecamuk berjuta asumsi berbalut emosi tumpang-tindih, bertarung dalam benak, saling meniadakan di tengah keheningan. Bunyi-bunyi nyanyian binatang malam yang mengisi sunyi.
Embusan napas berat lolos dari mulut Mat. Lelaki itu menyugar rambutnya, sambil bergerak menuju tepi jembatan. Manik netra hitam legamnya tenggelam di antara arus sungai yang tenang, berharap kejernihan air mampu memberikannya sedikit kewarasan untuk tetap berpikir rasional.
"Olimpiade? Tanpa Bintang?"
Pertanyaan retoris Kiano hanya mengudara tanpa satu pun tanggapan.
Mat meletakkan kedua lipatan tangannya di atas tepian jembatan, sekaligus mengetuknya dengan jari-jari, dalam tempo yang konstan. Bagaimanalah mereka bisa fokus mengerjakan soal-soal olimpiade, jika keadaan mereka saja begini? "Ini berat untuknya."
Di sisi lain, Alfis hanya membuang muka ke sembarang arah. Pematang sawah yang hanya diterangi lampu seadanya dari saung-saung kecil tempat para petani beristirahat, juga kerlip gemintang yang tampak menertawakan mereka.
Sama-sama resah, Alfis mengacak-acak rambutnya. Garis rahang Alfis mengeras. Kalimat Bintang tadi terdengar terus bergaung dalam telinganya. Apakah Alfis memang tak seharusnya bicara pada Bintang, sejak awal? Tanpa sadar, Alfis sudah menghancurkan sepotong hati Bintang yang memang rapuh. Sebersit penyesalan menyeruak di pikiran Alfis.
"Apa kita lanjutkan saja mempelajari materi olimpiade seperti biasa?"
Pertanyaan Mat disambut tawa hambar dari Kiano. "Mana bisa. Tidak pernah ada 'seperti biasa', jika salah satunya baru saja memutuskan berbalik arah dan berhenti meneruskan langkah."
"Baiklah. Malam ini, kita kembali belajar mandiri di rumah," putus Mat, "sambil berupaya mengembalikan Bintang dalam siklus perjalanan angan."
"Sial," rutuk Alfis, tak tahan dengan amukan putus asa dari kepalanya. Ditendangnya tepian Jembatan Cimulu sekuat tenaga, lantas melesakkan kedua tangannya ke dalam saku jaket, dengan napas yang menderu tidak santai. "Aku pulang."
Mendapati langkah lebar Alfis yang sudah menjauh, Kiano tampak kebingungan. Kiano melirik Mat dan Alfis bergantian, dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lantas berlari menyusul Alfis. Tinggallah Mat seorang diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
MaFiKiBi Society✓
Novela JuvenilSekumpulan geng motor yang punya pamor? Pasukan bad boy cap badak yang punya penggemar membludak? Bukan. Ini kisah tentang Perserikatan MaFiKiBi Society, yang tak pernah lelah atau menyerah untuk terus ciptakan langkah. Mat hanya ingin memenangkan o...