Apakah kau pernah melihat pemandangan di mana dua sobat kental sejak orok yang selalu menempel rekat seperti upil dengan ingusnya di waktu flu, lalu mendadak saja jadi renggang, berjauhan, dan bertingkah layaknya orang asing yang tak pernah saling mengenal?
Itu yang bisa langsung Kiano simpulkan, semenjak menyapa keduanya karena tak sengaja bertemu di tengah lalu lintas yang ramai. Pada akhirnya, mereka memutuskan berangkat bersama tanpa bicara sepatah kata. Lampu merah sudah berganti hijau. Mat dan Kiano langsung tancap gas. Sembari berusaha menyamakan laju sepeda motornya dengan Mat, Kiano berdesis-desis pelan, bermaksud menarik perhatian Mat saja untuk menanyakan alasan di balik penampakan muka Bintang yang keruh. Akan tetapi, Mat tak kunjung peka dan hanya fokus menatap jalanan lurus di hadapannya.
Ah, sudahlah. Ini tidak akan berjalan baik. Kiano melirik singkat pada Bintang yang duduk di jok belakang, menempati posisi sejauh mungkin dari punggung Mat. Motor Kiano tersusul. Bintang yang memang duduknya menghadap ke belakang dan beradu punggung dengan Mat pun kini menatapnya sarat akan hasrat kesumat untuk mengamuk. Aura gelap terus-terusan mengungkung sosok Bintang, membuat bulu kuduk Kiano berdiri tegak, ngeri-ngeri sedap.
Jika diingat-ingat lagi, perubahan sikap Bintang memang sudah tampak dari semalam. Sejak Bintang turun dari motor Bang Ojek yang dipesankan Mat, perempuan itu tak henti menekukkan wajah. Cemberut. Kiano sampai tak berani mengusiknya. Mat tak kunjung pulang di jam tujuh malam. Masih dengan urat-urat di tubuhnya yang seolah terus tegang kala itu, Bintang berpamitan dan bilang mau pulang lebih dulu. Capek, begitu alasannya. Padahal, biasanya Bintang pulang paling akhir karena hanya perlu berjalan beberapa langkah dari basecamp untuk ke rumahnya.
Semalam, Alfis dan Kiano pun undur diri kembali ke rumah masing-masing begitu Mat tiba. Sehabis menyerahkan kunci markas, Kiano sempat menanyai Mat soal Bintang yang seolah sedang ada masalah. Saat itu, Mat hanya mengangkat bahu tanpa jawaban, dan malah balik bertanya, 'benarkah?'
Masih bertahan dengan tatapan maut Bintang, Kiano pun nyengir nelangsa. Oh, tidak. Dirinya bisa saja berjuta-juta kali ribut dengan Bintang, beradu argumen, rebutan camilan, mempermasalahkan anime mana yang paling keren sepanjang masa, mengolok Bintang soal nilai Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan-nya yang anjlok karena tinggi badannya tak kunjung mengalami pertumbuhan, hingga saling menjatuhkan husbu dan waifu masing-masing. Sebesar apa pun guncangan yang ditimbulkan perkelahian mereka, tak pernah ada yang berefek samping begitu dahsyat. Mereka akan kembali akur begitu menonton anime bersama, atau membuat lawakan yang bersifat menistakan Alfis dengan gengsi dan harga dirinya yang selangit.
Tak pernah terjadi masalah yang begitu serius di antara Kiano dengan Bintang. Bintang jarang-jarang mempertahankan ego dan jiwa permusuhannya berlama-lama. Hanya saja, jika Bintang sudah memutuskan untuk berselisih dengan Mat, maka sesuatu yang buruk sedang benar-benar terjadi. Mimpi buruk. Definisi kehancuran yang sesungguhnya.
Begitu mereka bertiga sudah mendarat selamat di atas kursi masing-masing, Kiano lekas-lekas membuka buku paket Bahasa Indonesia miliknya, lantas bertingkah seolah sedang membaca materi dengan serius. Sangat bukan dirinya. Diam-diam, Kiano melirik dua bangku di sebelahnya yang diliputi suasana suram. Bintang masih terdiam dengan kedua tangan yang menyilang di depan dada. Sehabis menyimpan tasnya hati-hati, Mat langsung bangkit untuk mendekati bangku Bintang. Akan tetapi, langkah Mat terpaksa berhenti begitu tiga siswi sekelas menghadangnya dengan alat tulis di tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MaFiKiBi Society✓
Novela JuvenilSekumpulan geng motor yang punya pamor? Pasukan bad boy cap badak yang punya penggemar membludak? Bukan. Ini kisah tentang Perserikatan MaFiKiBi Society, yang tak pernah lelah atau menyerah untuk terus ciptakan langkah. Mat hanya ingin memenangkan o...