30| Titik Balik

88 19 29
                                    

Andai saja, bisikan anila mampu meredakan bising yang menyesaki hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Andai saja, bisikan anila mampu meredakan bising yang menyesaki hati. Andai saja ... selain menyegarkan tubuh yang penat, semesta juga menghadirkan angin untuk menenangkan bait-bait keresahan yang memenuhi pikiran.

Di balik jendela angkot yang sengaja dibuka lebar-demi menghadapi cuaca panas, angkot mengetem, dan kemacetan yang ada-Bintang mengembuskan napas berat. Ada apa dengan ketiga sahabatnya? Apa yang telah Bintang lewatkan?

Begitu Bintang berbalik dan berniat kembali melangkah untuk menggapai genggaman itu ... semuanya tak lagi sama. Sungguh. Bintang tak pernah menyangka bahwa celah yang ia tinggalkan malah membuat barisan mereka bubar jalan.

"Kiri, Mang." Bintang berseru, memberi tanda pada sopir angkot untuk menghentikan laju kendaraannya. Setelah menyeberangi jalan, Bintang menelusuri jejak pijak yang dilaluinya.

Benar. Untuk sampai ke rumahnya, Bintang memang harus masuk gang yang tidak termasuk rute angkutan umum. Karena itulah, Bintang harus berjalan cukup jauh dari jalan raya. Panas. Kiranya, beginilah kondisi Bintang setiap hari, kalau tidak diantar-jemput Mat. Ah, Mat ....

Bintang jadi teringat kejadian sebelumnya di bingkai pintu kelas. Tepat di hadapannya, Mat tampak begitu penat .... Raut putus asanya benar-benar membuat Bintang merasa bersalah.

Dengan pikiran mengembara, Bintang pun belok kiri dari pertigaan dekat Sungai Cimulu. Sesaat, Bintang melirik halaman depan rumah Mat. Sepeda motor itu belum ada di sana. Seharusnya, jika waktu pulangnya bersamaan, Mat akan jauh lebih dulu sampai di rumah. Bintang menggigit bibir. Kenapa Mat belum pulang juga? Tidak ada lagi rapat OSIS, 'kan? Tadi saja, Mat sampai bersiap mengajaknya pulang bersama, 'kan?

Bintang membuka sepatu, masuk rumah, meletakkan tas di sembarang arah, lantas langsung merebahkan badan di atas tempat tidur.

Wulan menghampiri. "Hasil jualan sudah sekalian kau ambilkan, tidak, Bi?"

"Belum," sahut Bintang, tanpa bergerak dari posisinya yang membenamkan kepala di atas bantal. "Oh iya, ya. Lupa."

Untuk menanggapinya, Wulan hanya berdecak, sudah biasa. "Ya sudah. Biar Mama saja, sekalian beli stok bumbu yang kurang. Mama berangkat dulu, ya. Kalau lapar, ke dapur saja. Mama sudah menghangatkan semur telur sisa jualan."

"Oke, Ma." Lesu sekali Bintang menjawabnya.

Wulan pun pergi, tanpa mengunci pintu. Detik demi detik berlalu hanya untuk merekam bisu. Beberapa menit kemudian, barulah Bintang merasa pegal dan membalikkan badannya jadi berbaring, menghadap langit-langit kamar.

Teringat sesuatu, Bintang mengalihkan pandangannya pada tumpukan buku catatan biologi yang menjadi aksi perjuangannya selama ini. Waktu yang tersita, buku-buku perpustakaan yang susah payah dipinjamnya, tinta yang terbuang hanya untuk merangkum ulang, kesempatan yang disia-siakan ... Bintang merasa semua itu tidaklah adil.

Tanpa sadar, Bintang meremas kuat seprai kasurnya. Semua itu tidak lama. Perhatian Bintang mendadak teralihkan oleh suara ketukan pintu. "Bi? Uhm, Tante Wulan, permisi ...."

MaFiKiBi Society✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang