29| Pudar Pendar

48 15 48
                                    

Hingga cahaya mentari mengintip lewat celah-celah ventilasi kamar, Bintang masih saja terjaga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hingga cahaya mentari mengintip lewat celah-celah ventilasi kamar, Bintang masih saja terjaga. Sejak terbangun dari mimpi, nyaris lima jam lalu, Bintang tak mampu kembali tertidur. Pikirannya terus diisi oleh pemandangan yang dilihatnya di alam mimpi.

Usapan nyaman dari tangan kasar yang terus banting tulang untuk menghidupi mimpi-mimpinya selama ini .... Bintang memegang puncak rambutnya sendiri. Entah karena jiwanya masih tertinggal di dalam bunga tidur semalam, atau apa, Bintang seakan masih bisa merasakan kehangatan itu.

Kenapa Bintang harus terbangun?

Detik berikutnya, Bintang menggelengkan kepalanya berkali-kali, menyingkirkan berbagai pikiran buruk yang mulai bermunculan di benaknya. Cukup. Bintang harus bangkit.

Sebagaimana kebiasaannya dalam dua hari terakhir ini, Bintang lekas ke dapur dan membantu pekerjaan Wulan, meski hanya untuk memotong sayur, mengiris tempe, atau cuci piring bekas semalam, yang akan digunakan Wulan dalam memasak menu jualannya hari ini.

Kesibukan pagi di Cibangun baru saja menggeliat, tetapi Bintang sudah bersiap di atas tikar, dengan sepiring nasi juga orak-arik yang masih mengepulkan asap hangat di tangannya. Tanpa aba-aba, Bintang langsung menyantapnya, lahap. Terlalu lama bergelut dengan lamunan-lamunan semu selama pagi buta tadi membuat tenaganya terkuras banyak. Bintang perlu mengisi daya.

Di saat setengah nasi di piringnya tandas, atensi Bintang teralihkan oleh pertanyaan Wulan yang tiba-tiba. "Semalam, kau bilang akan masuk sekolah, 'kan? Mulai hari ini?"

Masih dengan mulut penuh, Bintang mengangguk-anggukkan kepala. Begitu kunyahannya berhasil ditelan, barulah Bintang angkat suara. "Jadi, Ma. Habis makan ini, Bintang langsung mandi, kok, lalu mengantarkan jualan."

Di hadapan kompor yang menyala, Wulan menumpahkan wortel dan kembang tahu ke atas penggorengan. Terciptalah suara nyaring dari gesekan antara sutil dengan permukaan wajan, juga suara ramai dari tercampurnya minyak panas dengan air dari sayuran. Wangi masakan pun merebak.

Demi meningkahi kesibukan yang ada, Wulan berteriak agar dapat didengar Bintang. "Baguslah! Sana, kau kabari dulu Mat. Kalau tidak, nanti dia kira kau belum mau masuk, hari ini. Sekalian, biar kau lebih cepat mampir ke warung-warung, Bi."

Mendengar nama itu disebut Wulan membuat Bintang kehilangan selera makannya untuk sejenak. Bintang tak menanggapi. Tak lama kemudian, makanan di piring Bintang sempurna tandas, tak menyisakan sebiji nasi atau sepercik bumbu sekalipun. Bersih mulus.

Bintang bangkit dan mencuci alat makannya di kamar mandi. Setelah meletakkannya kembali di rak piring, barulah Bintang membalas kalimat Wulan sebelumnya. "Tak usah, Ma. Bintang mau berangkat sendiri."

Demi mendengar kalimat aneh itu, Wulan seketika menghentikan aksinya yang sedari tadi semangat sekali menghaluskan kentang untuk perkedel. Ditatapnya penampakan Bintang dari pangkal rambut sama ke ujung kaki. Tidak ada yang salah. Bintang kerasukan apa lagi? "Kau tak apa, Bi? Apa ... kesadaranmu sedang terganggu?"

MaFiKiBi Society✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang