28| Riak Jarak

37 15 60
                                    

Semua hal yang diputuskannya sudahlah benar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semua hal yang diputuskannya sudahlah benar. Tak apa. Tidak ada masalah.

Selagi memarkirkan sepeda motor di halaman depan rumah, Alfis mengembuskan napas berat lewat mulutnya. Ia teringat percakapannya dengan Bu Yanti via telepon, beberapa menit lalu, sebelum sampai ke rumah. Bukan. Alfis bukan ditagih tugas atau remedial dari nilai mata pelajaran yang kurang, melainkan Alfis baru saja mengajukan pengunduran diri dari tim fisika delegasi sekolah.

Tak apa. Tidak akan menjadi masalah. Dua kalimat itu yang terus digemakan dalam benak Alfis.

Sejak masuk SMP, nyaris empat tahun lalu, Alfis selalu mengikuti olimpiade sains setiap tahunnya. Tidak pernah luput sekali pun. Dulu, Alfis tak sabar masuk SMA untuk mengikuti olimpiade di mata pelajaran yang khusus fisika, bukan gabungan antara fisika-biologi-kimia dalam satu paket berlabel 'bidang sains' sebagaimana olimpiade di tingkat SMP.

Alfis tak pernah menyangka, akan ada satu masa di mana ia memutuskan untuk tak berpartisipasi dalam Kompetisi Sains Nasional, dan itu adalah tahun ini. Rasanya, seperti ada sesuatu yang terus mengganjal dalam benaknya. Tidak tenang. Ini terlalu ganjil. Ini terasa bukan dirinya.

Baru saja menginjakkan kakinya sehabis melewati bingkai pintu depan, Alfis sudah mendapati Naya yang mendekat ke arahnya. Alfis mendelik, membiarkan netra abu-abu miliknya berlarian ke sembarang arah, asal tidak beradu pandang dengan Naya. Perempuan itu pasti menyadari kepergian Alfis, tadi. Sudahlah. Siapa peduli?

Melelahkan .... Alfis sudah muak. Seisi pikirannya sudah dipenuhi berbagai beban yang mulai melampaui kapasitasnya. Alfis sudah tak lagi berminat untuk menghindar atau menunjukkan perilaku kasar yang sarat akan kontradiksi seperti biasa. Alfis penat ....

"Alfis," panggil Naya.

Mendapati respons Alfis yang membuang muka membuat Naya menghentikan langkah, sedikit menjaga jarak aman. Biasanya, jika diajak berinteraksi, Alfis akan menganggap Naya tak lebih dari angin lewat, lalu mengelak untuk bergegas ke kamarnya. Akan tetapi, kali ini, Alfis bergeming di posisinya, tampak tak berniat untuk berontak.

Suatu hal langka. Naya berusaha memanfaatkan kesempatan itu. "Bukankah kau belum makan malam?"

"Sudah."

Naya bahkan baru mengatupkan mulut, tetapi Alfis sudah menjawabnya dengan pernyataan singkat. Naya menggigit bibir. Bagaimanalah sekarang? Ada berjuta kalimat dalam benak yang sejak dulu ingin tumpah ruah. Saking banyaknya, Naya sampai kebingungan harus memilih mana yang bisa membuat Alfis mau berlama-lama mendengarkannya. Pertanyaan demi pertanyaan yang tak pernah berani Naya ungkapkan.

Dalam diam, tangan Naya meremas kuat ujung kausnya sendiri. Tangannya bergetar, tremor. Ada banyak hal yang ingin Naya bagikan pada Alfis, sedari awal. Akan tetapi, semesta tak pernah mengizinkannya untuk itu.

Inilah mereka. Sepasang adik-kakak yang tinggal dalam satu atap, tetapi selalu ada dinding pembatas transparan di antara keduanya. Kamar Alfis dan Naya berdekatan. Bahkan tanpa ada unsur kesengajaan sekalipun, sebagaimana saudara pada umumnya, mereka selalu berpapasan di dapur, ruang tengah, anak tangga, halaman rumah, atau koridor menuju kamar mandi. Akan tetapi, tak pernah ada suara di sana.

MaFiKiBi Society✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang