Suara apparate membuncah. Merobek udara dengan suara kerasnya. Petunia hampir terjatuh ketika mendarat. Untungnya Evan sigap memegang tangannya. Jika tidak dirinya mungkin jatuh di jalanan yang penuh dengan genangan air yang kotor.
Petunia mengerjap matanya berkali-kali sambil berdiam diri. Menenangkan kepalanya yang sangat pusing akibat transportasi magis yang bernama apparate. Dirinya bersyukur tidak muntah di jalanan yang dilewati banyak orang. Bahkan untuk yang kedua kalinya,Petunia tidak terbiasa tersedot ke udara.
Petunia pernah mendengar dari adiknya Lily saat makan malam keluarga bersama ayah dan ibunya. Efek negatif dari apparate. Samar-samar ia mengingat dari perkataan Lily, ia mengatakan jika melakukan kesalahan kemungkinan beberapa anggota tubuh akan hilang. Untungnya, Petunia bersama dengan ahlinya . Besar kemungkinan ia tidak akan kehilangan tubuh kecuali melepaskan genggaman dari pria bermarga Rosier itu.
Lampu jalanan menyala terang disepanjang sudut bangunan bergaya antik itu. Mata hijaunya membulat senang. Kota Paris masih bisa mencuri hati Petunia. Bahkan eksisnya malam kota Paris yang dikenal sebagai pusat mode dunia tidak kalah dengan pagi harinya yang penuh dengan suara kicauan burung merdu yang saling menyahut satu sama lain.
Sepatu Mary Jane bewarna hitam itu menapaki jalanan berbatu. Berjalan berdampingan dengan Evan. Petunia tidak mau tersesat di negara asing terlebih dunia sihir.Bahkan jika malam hari tidak sesibuk pagi hari. Tidak salahnya waspada bukan?
Kaki mereka berhenti ketika telah sampai ditujuan. Bangunan besar yang memiliki maskot tubuh naga di atapnya berdiri dihadapan mereka berdua. Petunia duga itu adalah bank di dunia sihir yang dijalani oleh goblin. Mereka aneh dengan tubuh kecilnya,dan telinga besar dan lancip,serta tidak ramah. Rasanya mereka memanggil tempat itu dengan Gringotts.
Petunia dan Evan melanjutkan langkah memasuki bangunan tersebut. Dengan Evan membukakan pintu untuk Petunia sebagai tanda menghormatinya. Petunia tersenyum membalas tanda terima kasih.
Setidaknya ia memiliki jiwa gentleman, pikir Petunia.
Kedatangan mereka disambut dengan sibuknya para goblin dengan berkas-berkas yang menggunung. Petunia berjalan dengan kikuk sembari mengikuti Evan berjalan mengunjungi meja Goblin di ujung paling kanan. Petunia tidak menyukai tatapan tajam dari goblin dibalik kaca mata mereka.
" Mereka jelek " Petunia berucap. Sambil berbisik di telinga Evan. Membuat lelaki itu mengernyit bingung.
" Serta tidak ramah," ujarnya melanjutkan kalimat.
Petunia hampir mengerutkan hidungnya jijik melihat kutil-kutil jelek yang timbul di hidung goblin. Tangannya gatal ingin menyentuh. Mengingatkannya akan jerawat kemerahan yang sering melanda wajahnya.
Jangan lakukan hal bodoh,Petunia. Ucapnya dalam hati sambil menenangkan diri.
Petunia cukup sadar diri untuk tidak melakukan hal-hal bodoh di dunia sihir. Jika tidak, bisa-bisa ia dilempari mantra pembunuh. Ia tidak ingin mati muda. Atau bahkan melihat tubuhnya sendiri tidak berdaya dalam wujud hantu.
"Hem" Evan berdehem. Tapi rupanya si goblin masih tidak sadar. Sedari tadi hanya sibuk membolak-balik kan kertas permanen yang bahkan Petunia tidak tahu isinya apa. Baginya itu terlihat seperti huruf-huruf kuno berjejer dalam tulisan.
Lagi, Evan berdehem sedikit keras. Membuat goblin berkacamata itu terkejut. Ia merapihkan berkas dengan sekali jentik. Membiarkan melayang lalu menghilang dengan butiran pasir emas.
"Selamat malam tuan ada yang bisa ku bantu?" Kata goblin.
"Tentu. Aku ingin membuat akun bank untuk penerus nyonya Rosier." Evan berkata sambil menunjuk dengan sopan Petunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petunia and Wizarding World
FanfictionPetunia Evans bangga bahwa dirinya normal, tidak seperti adik anehnya Lily dengan keterikatan kepada dunia sihir. Petunia selalu menjaga jarak dengan hal yang berbau sihir. Kebenciannya terhadap dunia sihir membuat hubungan Petunia dan Lily tidak se...