Orang-orang mengatakan harga diri Slytherin itu tinggi. Bahkan juga kesetiaan yang didapatkan dari para ular seperti harta yang tidak ternilai harganya. Evan mengakui bahwa itu benar. Seperti halnya kepercayaan para penyihir darah murni yang terkadang menyimpang dari jalan kebenaran.
Tetapi, seperti yang semua orang pikirkan, semua ular itu licik. Mereka sanggup untuk mengkhianati tuan mereka. Bahkan jika itu adalah saudara mereka sendiri.
Evan mengacungkan tongkat kayunya ke bawah. Menatap kearah Regulus yang saat ini terkapar tidak berdaya. Ia bisa melihat dada pewaris Black itu naik-turun sembari badannya penuh luka akibat mantra yang dilontarkan Evan kepadanya.
"Maaf, ku pikir kau tidak akan tersinggung akan hal itu." Regulus berbisik. Ia tidak bisa berkata lebih banyak lagi. Tubuhnya sekarang dipenuhi luka.
Sial. Luka yang ia dapatkan dari dark lord masih belum sembuh. Dan kini Evan malah memperparahnya. Menghujaninya dengan mantra yang membuat ia kesakitan. Regulus tidak pernah menyangka Evan akan semarah itu hanya karena ia menyebutkan rahasianya.
Apa semenakutkan itu jika rahasianya terbongkar?
Sejak kapan Evan menjadi orang penakut seperti itu?
Rasanya kepala Regulus mau meledak hanya dengan dipenuhi pertanyaan-pertanyaan itu. Lagipula ini salahnya, membiarkan pria Rosier itu mengamuk dan membuatnya terkapar dilantai kayu yang penuh debu itu. Rasanya tidak buruk juga, mengingatkan dirinya tentang penyerangan Diagon Alley yang diketuai oleh sepupu tidak warasnya Bella.
Evan menurunkan tongkat kayunya, tandanya ia telah menurunkan kewaspadaan.
"Bagaimana kau mengetahuinya?" Evan bertanya.
Regulus tersenyum, ia lalu berdiri seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Evan mengerutkan keningnya menatap aneh kepada Regulus. Apakah menjadi anak dari Walburga membuat pria bungsu Black itu kehilangan kewarasannya?
"Aku melihatmu saat di Paris. Menuju ke suatu butik yang menjual gaun pengantin. Terlebih kau membawa seorang wanita muggle yang tidak tahu apa-apa ke sana. Ada apa sebenarnya?" Tanya Regulus sembari menjelaskan panjang lebar. Matanya menyipit heran. Untuk apa seorang Rosier melakukan hal yang merepotkan dengan seorang wanita muggle jika itu bukan sesuatu hal yang penting.
"Kau yakin tidak akan membocorkannya? Bisakah kau berjanji?" tanya Evan. Lagipula tidak ada salahnya untuk bersikap waspada. Bahkan jika itu adalah orang yang kau anggap seperti saudara sendiri.
"Seperti kau tidak mengenal aku saja. Dan ya, aku bisa berjanji. Bahkan jika harus mengucapkan sumpah tidak terpatahkan jika itu tidak cukup" ucap Regulus meyakinkan.
Evan mengangguk memberi tanggap. Tak apa, Regulus bukanlah orang yang dengan mudah berkhianat. Tidak seperti seseorang yang ia kenal.
"Aku berhutang kepada wanita muggle itu," Evan memberi jeda, lalu melanjutkan kalimatnya, " Ini bukanlah hutang yang mudah dibayar."
"Hutang? Kau yakin? Tidak biasanya," ucap Regulus bingung. Evan hanya membalas dengan senyuman kecil. Setahu dirinya, Rosier adalah keluarga kaya, mustahil jika Evan tidak bisa membayarnya.
"Kau ingat kejadian penyerangan di Diagon Alley?" tanya Evan.
"Tentu saja. Aku masih tidak menyangka makhluk gila yang menyerang orang-orang dengan membabi buta adalah sepupuku." Regulus berkata. Wajahnya menunjukkan sedikit kekesalan. Regulus masih tidak menyukai bagaimana Sirius menyerang dan bermaksud melawan dirinya. Terlebih Bella, bagaimana bisa wanita gila itu adalah sepupunya? Regulus yakin Bellatrix adalah anak yang tertukar.
"Kau tahu hutang seumur hidup kan?" Evan kembali bertanya.
Regulus mengangguk mengiyakan. Rasanya ia ingin sekali meneriaki pria Rosier itu tapi ia urungkan. Sedari tadi Evan hanya bertanya saja, tidak berniat menjelaskan. Sungguh bertele-tele, tidak seperti biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petunia and Wizarding World
FanfictionPetunia Evans bangga bahwa dirinya normal, tidak seperti adik anehnya Lily dengan keterikatan kepada dunia sihir. Petunia selalu menjaga jarak dengan hal yang berbau sihir. Kebenciannya terhadap dunia sihir membuat hubungan Petunia dan Lily tidak se...