Petunia, gadis bermarga Evans itu merasakan kegugupan yang luar biasa. Ia tidak henti-hentinya meremas gaun putih yang melilit tubuhnya dengan anggun itu menjadi kumal. Tangannya sedari tadi dingin. Rasanya ia ingin lari saja.
Dasar bodoh. Petunia mengakui bahwa ia bodoh. Harusnya ia membiarkan saja pria itu kesakitan. Dan tidak menolong Evan pada malam itu. Tapi seperti biasanya, Petunia selalu merasakan penyesalan diakhir. Kesalahan yang sama yang selalu dirinya lakukan.
Tenanglah Petunia. Gadis berambut blonde itu berusaha menenangkan dirinya.
Petunia berusaha menetralkan detak jantungnya yang sedari tadi menangganas karena gugup. Dengan mantap ia mengangkat kepalanya. Petunia bukanlah lagi gadis yang selalu ketakutan. Dalam satu tarikan napas, Petunia berjalan melewati pintu itu. Siap menyambut dunia yang dibencinya.
Pernikahan itu cukup indah walaupun tidak besar. Dalam artian lain, itu kecil dan sederhana. Benar-benar sederhana. Petunia juga tidak perlu repot menghitung petugas kementrian yang datang sebagai saksi antara dirinya dan Evan dalam hukum dan sihir mengenai pernikahan mereka berdua. Kesampingka tentang hanya tiga orang saja yang mehadiri pernikahannya. Itupun termasuk satu anggota sihir, dan madam Sheela (perancang gaun pengantin), serta Mixy si peri rumah yang sedari tadi menatapnya tajam dan sumpah serapahnya dalam bahasa Perancis. Petunia cukup yakin dengan hal terakhir.
Rasanya aneh bagi Petunia. Semenit sebelum janji sihir itu terucap, ia hanyalah Petunia Evans. Dan sekarang? Ia adalah salah satu bagian dari hal dirinya benci. Dunia sihir. Cukup menjengkelka ketika ia harus menjadi bagian dari dunia Lily. Memikirkannya saja ia sudah muak.
Petunia tidak pernah mengerti mengapa ia harus memiliki Lily. Adiknya itu bodoh dan cerewet. Dirinya juga tidak pernah paham mengapa orang tuanya sangat menyayangi Lily. Apakah kerena Lily istimewa?
Petunia mendongak, tersadarkan dari lamunannya tak kala Evan mengeluarkan suara seperti kesakitan. Ia menatap bingung, sedari tadi Evan memegang tangannya. Seolah-olah akan menyakiti penyihir Rosier itu. Petunia menatap tatto yang tersembunyi di balik kemeja putih yang dikenakan Evan. Tidak terlalu jelas, tapi Petunia tahu. Itu menyakiti sang Rosier.
Evan menyadarkan tubuhnya di kursi empuk itu. Mengatur napasnya perlahan. Ia membenci Volermort. Rasanya makhluk buas itu akan membunuhnya perlahan dengan tatto yang melekat ditangannya. Tanda kegelapan yang ingin dirinya hapus jika bisa.
Sialan. Bahka kata kasar itu tidak cukup untuk memaki penyihir hitam yang menyiksanya. Evan harap makhluk buas itu segera mati. Itu lebih baik ketimbang pria bernama Voldemort itu masih hidup. Dan berkeliara bebas dengan bangganya. Apa yang diinginkan dark lord sekarang?
"Apakah kau baik-baik saja?" suara Petunia mengusik Evan yang sedari tadi memejamkan matanya. Menyadarkannya dari khayalan mengutuk pria tua itu dengan ular yang bersama dirinya. Evan mengangguk memberi jawaban. Ia bisa merasakan muggle itu khawatir melihatnya kesakitan.
"Ku rasa kita harus pergi." Evan berkata sembari berdiri. Membuat Petunia menatapnya tidak percaya. Evan mengakui itu terdengar mengejutkan, tapi ia harus pergi. Sebelum penyihir yang memanggil dirinya sendiri pewaris slytherrin itu melemparkan mantra pembunuhan seperti mendiang ayahnya.
"Kemana?" Petunia bertanya. Menatapnya dengan bingung.
"London." Balas Evan dengan mantap. Berusaha mencari portkey berbentuk pena bulu di meja yang tidak kunjung ia temukan.
"Mengapa harus tiba-tiba?" Petunia kembali melontarkan pertanyaan. Gadis berambut pirang itu mengernyitkan dahinya. Mengapa tiba-tiba sekali penyihir tampan di depannya mengajaknya pulang ke London. Bahkan Evan, si penyihir itu belum menjelaskan hal penting mengapa pria itu merasakan kesakitan sebelumya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petunia and Wizarding World
FanfictionPetunia Evans bangga bahwa dirinya normal, tidak seperti adik anehnya Lily dengan keterikatan kepada dunia sihir. Petunia selalu menjaga jarak dengan hal yang berbau sihir. Kebenciannya terhadap dunia sihir membuat hubungan Petunia dan Lily tidak se...