Bab 9

368 74 15
                                    

Petunia mengetuk kaki kanannya pelan. Berkali-kali ia terlihat mondar mandir didepan sebuah rumah dengan pintu berwarna merah itu. Dengan gemas, Petunia mengigit kukunya. Dirinya sekarang sedang cemas.

Petunia ingin masuk ke dalam rumah orang tuanya. Dan menyapa ayah dan ibunya. Terutama Lily. Tapi perasaan takut masih menghantui dirinya. Dan ia merasa bersalah sekarang.

Seharusnya ia datang ke pernikahan adik satu-satunya. Menemui Lily, mengucapkan selamat lalu pergi untuk pulang ke flatnya. Tapi dirinya malah terjebak dengan penyihir entah berantah bernama Evan. Dan mungkin terikat selamanya. Dengan napas berat, Petunia mengetuk pintu merah itu. Membiarkan keheningan menyelimuti dirinya selama beberapa detik hingga suara langkah kaki yang dikenalnya terdengar.

Pintu itu terbuka. Dan Petunia hanya bisa mengeluarkan sapaan canggung tak kala melihat ayahnya. Sejujurnya, Petunia sudah siap menerima segala hal termasuk hal-hal yang akan menyakitinya ketika pintu itu terbuka. Tapi melihat senyuman ayahnya yang menenangkan membuat cemas dalam dirinya berkurang. 

Bau bunga Lily yang ia kenal mengudara di indera penciumannya tak kala dirinya melangkahkan kakinya ke dalam. Petunia rindu rumahnya. Sangat.

"Oh, Petunia. Kemana saja kau, kami sangat cemas. Kau seperti menghilang begitu saja setelah ibumu memberitahuku tentang benturan keras yang ia dengar ditelepon. Apakah kau baik-baik saja?," Ayahnya berucap sembari menatapnya dengan khawatir. 

Apakah dirinya baik-baik saja?

Petunia lupa bagaimana rasanya hidup normal. Hidupnya sudah hancur akibat dunia sihir. Ia bahkan lupa untuk menanyakan kalimat itu kepada dirinya sendiri. Lagipula Petunia sudah terbiasa untuk tidak baik-baik saja.

"Kemarilah, ibumu dan Lily ada di dapur." Ucap ayahnya lagi.

Petunia memberi anggukkan sebagai jawaban. Ia langkahkan kakinya menuju dapur. Menatap dua orang yang kini sedang sibuk membuat kue. Bahkan suara tawa penuh kebahagiaan terdengar sampai tempat ia dan ayahnya tadi berbicara.

"Hai." Petunia menyapa. Menghentikan aktivitas ibu dan anak itu. Dan menatap dirinya seolah-olah ia adalah hantu.

"Kau telah pulang?" Lily bersuara yang terdengar seperti dirinya telah tidak pulang ke rumah selama bertahun-tahun.

"Yuh, tentu saja. Dan hai mom." Petunia melambaikan tangannya dengan senyuman canggung yang mendarat di bibirnya.

Plak!

Suara tamparan terdengar nyaring. Petunia bisa merasakan panasnya pipi kanannya tak kala ibunya menamparnya. Tamparan kasar itu kembali melayang ke wajahnya. Petunia yakin, sekarang wajahnya sedang merah.

"Aku tidak menyangka kau masih mengingatku sebagai ibumu. Kemana saja kau Petunia!?" Ucap ibunya, Mrs. Evans sembari dengan wajah memerah marah.

Sepanjang hidupnya sebagai nyonya Evans. Ia tidak pernah menyangka anaknya melakukan hal yang tidak pernah ia duga. Terlebih Petunia.

Ia mempercayai Petunia sebagai kakak yang baik. Dan sekarang? Ia melihat Petunia yang merasa tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Seolah-olah itu adalah hal biasa. Termasuk tidak menghadiri pernikahan Lily. Adiknya sendiri.

"Kau bahkan tidak menghadiri pernikahan Lily, adikmu," Mrs. Evan bersuara dan melanjutkan kalimatnya lagi. "Apakah kau juga tidak akan menghadiri pemakaman ku hah?," Perkataan itu tiba-tiba saja dilontarkan Mrs. Evans kepada anak tertuanya.

Petunia menatap ibunya tidak percaya. Terlebih kalimat yang baru saja diucapkan. Matanya memerah menahan tangis. Ia tidak bisa menjelaskan bahwa ia tiba-tiba diculik bukan? Petunia juga ingin melihat adiknya mengenakan gaun pengantin. Tapi...

Petunia and Wizarding WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang