Bab 5

603 100 18
                                    

Petunia pikir dunia sihir hanya untuk orang-orang aneh seperti Lily. Orang normal seperti dirinya beranggapan bahwa sihir itu bodoh. Jauh dilubuk hatinya terdalam, Petunia menginginkannya. Ia ingin sihir, ia ingin seperti adiknya. Menaiki sapu terbang, bertemu dengan putri duyung, dan pergi ke sekolah sihir hogwarts.

Petunia selalu melakukan semua hal tetap dalam rencana. Ketika adiknya Lily lahir, Petunia sudah merencanakan semua hal. Mulai dari pergi ke sekolah bersama hingga makan es krim di akhir pekan.

Ia tidak seperti adiknya Lily dengan rambut merah dan mata hijau. Dirinya hanyalah Petunia, makhluk tidak rupawan dengan rambut pirang dengan mata hijau yang tidak seindah punya Lily. Petunia tidak seperti Lily yang populer. Dirinya hanyalah gadis remaja biasa yang terjebak dalam bayangan saudarinya sendiri. Sulit rasanya ketika orang-orang lebih menyukai matahari ketimbang bulan yang memiliki cahaya yang sama.

Petunia pikir dirinya akan berakhir seperti bibi Rose dari pihak ibunya. Seorang perawan tua yang tidak bisa menikmati hidupnya. Menghabiskan seluruh hidupnya hanya untuk sendirian. Tanpa kekasih, keluarga, ataupun anak.

Ketika Vernon menyatakan cintanya dengan bunga petunia layaknya namanya. Petunia rasa, dirinya bisa menyaingi Lily yang mempunyai kekasih seperti James Potter. Walaupun tidak setampan James, Vernon memiliki hati yang baik.

Petunia benci reuni keluarga. Ia benci ketika seseorang menanyakan hal hidupnya. Terlebih dibandingkan dengan adik hebatnya Lily. Ibunya pernah mengatakan tidak akan pernah membandingkan dirinya dengan Lily. Tapi lagi-lagi seperti janji biasa yang awalnya manis berubah menjadi racun. Petunia kecewa.

Cinta, Petunia rasa ia kekurangan itu. Dulu Vernon membuatnya melupakan kekurangan dirinya. Tapi ketika pria itu pergi, ia sadar sudah saatnya dirinya kembali ke bumi. Menghadapi realita yang ada walau itu menyakitkan.

Petunia ingat hari ketika ia baru saja putus.

Hari itu tidak hujan ataupun panas. Cuaca seperti biasa layaknya hidupnya yang monoton. Petunia berada sendirian di faltnya yang nyaman, hangat, dan damai. Itu klise, suara telefon berbunyi dan ia mengangkatnya. Petunia bisa merasakan sang penelpon gugup akan sesuatu. Dari napas hingga suara deheman sang penelpon.

"Hai Petunia," Vernon menyapa. Walau ia rasa tidak bersemangat seperti biasa.

"Hai juga Vernon. Bagaimana kabarmu?." Petunia bertanya.

"u-um baik. Aku ingin mengatakan sesuatu," Petunia mengerutkan keningnya. Ia melanjutkan dengan suara lembut dan berkata,"Baiklah, apa yang ingin kau katakan."

"Kurasa kita tidak bisa bersama lagi. Aku tidak bisa menerima kenyataan Lily adikmu adalah penyihir. Terlebih James yang tidak memberikan kesan baik padaku." Sahut Vernon dari ujung telefon. Petunia hanya bisa terdiam mengerkan kata Vernon. Ia setuju kata Vernon tapi untuk kalimat pertama ia rasa itu sulit diterima.

"Tidak bisakah kita bicarakan dulu?," tanya Petunia dalam nada khawatir.

"Maaf, kau tahu aku bukan orang yang penyabar. Kau cantik Petunia, kau bisa menemukan orang lain yang lebih baik dariku. Sekali lagi maaf. Semoga kau bahagia," percakapan berakhir dengan nada tut dari telefon merah yang dipegang Petunia. Petunia hanya bisa mematung. Lambat laun air keluar dari matanya. Tangannya menyentuh dadanya yang sesak. Kini ia kembali menangisi hal-hal bodoh seperti dirinya yang dulu berusia 13 tahun.

Sekarang ia kembali menjadi bayangan gelap dari adiknya. Gadis bodoh yang selalu berharap pada bulan dan hal yang semu.

Kini kembali ke masa kini.

Angin menyapa rambut pirang Petunia. Menyapa leher panjang Petunia membuatnya merasa dingin. Petunia melirik Evan Rosier yang hanya diam didepan makam selama 1 jam penuh tanpa bergerak sedikitpun layaknya patung. Ia bisa melihat lelaki itu menggengam setangkai mawar merah. Bosan menghapiri Petunia yang duduk dibawah pohon sedari tadi. Langit biru kini berubah jingga kekuningan. Tidak lama lagi malam akan menyelimuti bulan dan bintang.

Petunia and Wizarding WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang