What They Left Behind

84 17 5
                                    

Baekhyun POV

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Baekhyun POV.

"Tuan muda." Sapa Yeri seraya menundukan kepala, tak berani menatapku.

This bitch, setiap kali kami bertemu, dia selalu bersikap seolah aku akan memakannya hidup-hidup.

"Bagaimana kondisinya?" Aku berjalan ke arah tempat tidur, sekedar melihat keadaan seseorang yang sedang terbaring di sana.

"Belum ada perubahan." Yeri menghela nafas dan berdiri di belakangku. "Dokter mengatakan kankernya sudah semakin menyebar dan hanya mukjizat Tuhan yang bisa membuat Bos Baeksan bangun dari koma."

Aku mengalihkan pandangan pada alat bantu yang terpasang di tubuhnya, satu-satunya alasan ia masih ada di dunia hingga detik ini.

Tidak bisa dipercaya, pria yang sepanjang hidupnya memegang tandu kekuasaan, pria yang mampu membuat gentar para petinggi negara dan gangster berbahaya, pria yang disebut-sebut sebagai iblis di dunia mafia, pria yang—tak memiliki hati nurani.

Ya, kini pria itu hanya bisa terbaring tak berdaya, seperti orang mati.

"Mukjizat Tuhan?" Aku tersenyum sinis. "Apa kau yakin Tuhan ada untuk orang-orang seperti kita?"

Hening.

Sepertiku, Yeri juga tak memiliki jawaban untuk pertanyaan itu.
Tuhan? Apa Tuhan masih sudi mengulurkan tangan untuk orang yang sudah berkali-kali menghabisi nyawa umatnya? Damn, if i was Him, tentu aku tak akan sudi.

"Yeri-ssi." Aku berbalik dan menatapnya intens. "Kenapa kau masih di sini?"

"Pardon?" Tanya gadis ini dengan raut wajah bingung.

Aku berjalan mendekatinya, namun ia justru melangkah mundur.

"Ah ya, kau masih di sini karna dia masih hidup."

Perlahan ia mengangkat kepalanya dan menatapku ragu. "Tuan muda—"

"Mulailah berpikir tentang masa depanmu, Yeri-ssi." Aku melipat tangan di dada dan berbalik, kembali menatap pria yang pernah kusebut ayah ini. "Kau tau apa yang akan terjadi setelah Bos Baeksan pergi."

"Kau berharap ayahmu mati?"

Aku menelan ludah dan termangu. Pikiranku sibuk mencari jawaban yang lebih logis, namun nyatanya, semua berakhir pada satu titik—

Ya, aku mengharapkan kematiannya.

Ya, aku menginginkan kematian untuk ayahku sendiri.

Dan ya, aku menunggu hari itu tiba.

Ironi.

Hungaria 1980 | BBHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang