Aku kembali menarik selimut dan berpura-pura tidur ketika mendengar suara langkah yang semakin mendekat.
"Sominie." Jeon Maurer, my stupid brother. Ia mengetuk pintu kamarku beberapa kali sebelum akhirnya menerobos masuk.
"Aku tau kau sudah bangun." Ia merebahkan tubuh di tempat tidurku, seperti yang setiap pagi dilakukannya. "Yah! Kau tidak pernah bangun lewat dari jam 7 pagi, berhenti berakting!"
Dengan sengaja aku mengeluarkan suara dengkuran, namun Maurer justru menanggapinya dengan gelak tawa.
Damn! this dumbass! Aku duduk dan menyandarkan kepalaku di headboard. "What the fuck do you want?"
"Ibu! Somi mengum—" Ia tak sempat menyelesaikan kalimat itu saat tanganku lebih dulu membungkam mulutnya.
"Jeon Somi!" Terdengar suara ibuku dari kejauhan. "Berhenti mengumpat!"
Ugh!
"Dasar mulut besar." Aku melepaskan Maurer dan turun dari tempat tidur, meninggalkannya yang masih tertawa puas.
"Yah, ayo kita bicara." Pintanya ketika aku baru akan keluar dari kamar.
Aku berbalik, bersiap untuk membantah. Namun raut wajah Maurer membuatku berubah pikiran, ia nampak serius dan sedikit—menakutkan?
Tanpa mengatakan apapun aku duduk di tepi tempat tidur, menunggunya bicara.
"Harus berapa kali kubilang, jangan pernah membantah ayah." Ia menyandarkan punggungnya di headboard seraya melipat tangan di dada. "Yang kau lakukan semalam benar-benar di luar batas."
Okay, here we go again.
Aku menghela nafas dan menatapnya tajam. "Apa yang kukatakan salah? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya."
"Somi-aah, apapun yang ayah lakukan, itu semua untuk kebaikan kita."
"Sungguh? Kau pikir ayah tau yang terbaik untuk anak-anaknya?" Aku bangkit dan menutup pintu kamarku, sebab apa yang akan kukatakan selanjutnya tidak boleh didengar oleh siapapun. "Jika memang begitu, maka Evelyn pasti masih di sini sekarang!"
"Somi!" Maurer meninggikan suaranya, dan untuk sesaat menatap marah padaku. "Yang terjadi pada Evelyn sama sekali bukan salah ayah, kau tau itu semua ulah kelompok Baeksan."
"Jika Duma tidak memulai perang dingin dengan Baeksan, mereka tidak akan menargetkan kita!" Airmataku mulai jatuh tak terkontrol. Ini adalah topik yang selalu kuhindari, karna tak peduli berapa kalipun aku mengingat kejadian itu, hatiku selalu hancur. "Dan jika hari itu ayah tidak bersikeras mengantar Evelyn ke sekolah pasti—"
Aku tak bisa menahan segalanya dan mulai terisak, di saat bersamaan Maurer membawaku dalam pelukannya. Sepertiku, ia juga menderita, ia juga hancur.
"My beautiful sister." Ia melepas pelukannya dan meraih bahuku, aku bisa melihat amarah yang luar biasa di mata pria ini. "Ingat ini baik-baik, keluarga Baeksan akan membayar mahal untuk setiap tetes airmatamu."
Aku mengangguk lemah seraya menyeka airmataku sendiri.
"Dan atas nama Evelyn, aku bersumpah tidak akan berhenti hingga mereka semua mati." Terdengar penekanan di setiap katanya. Kali ini, Maurer bersungguh-sungguh. "Riwayat keluarga terkutuk itu akan segera tamat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hungaria 1980 | BBH
Fanfiction"Kita akan bertemu lagi di kehidupan selanjutnya. Ketika saat itu tiba, kau dan aku akan memenangkan pertarungan. Kisah kita akan berakhir bahagia." Budapest, Hungaria. 1980.