14. •Rumah baru•

72.5K 7.5K 129
                                    

Aleo memutar bola matanya malas saat menatap rumah dua tingkat di depannya. Bukan tidak bersyukur, namun kenapa mereka harus pindah?

Memang rumah yang Bara beli tidak sebesar rumahnya yang dulu, tetapi bukan itu masalahnya, dia tidak ingin meninggalkan rumah almarhumah mamahnya.

"Pah kenapa harus pindah sih!? Aleo nggak mau!" Marahnya pada Bara di telpon.

"Aleo, rumah itu papah yang akan tempati, kamu harus pindah,"

"Kita bisa tinggal serumah, kenapa harus beli yang baru?" Kekeuh Aleo tidak ingin meninggalkan rumahnya yang lama.

"Turuti saja Aleo, sudah ya papah harus pergi ke bandara dulu."

Tut.

Panggilan telepon itu dimatikan sepihak. Aleo jengah, papahnya yang gila kerja itu mengatakan akan tinggal di rumahnya yang lama, sedangkan Bara selalu pergi keluar negara setiap hari, lebih baik kan ia saja yang tinggal dirumah itu.

Sedangkan Jasmine hanya tersenyum tipis, ia teringat perkataan Bara. Alasannya membeli rumah baru ini, agar Aleo bisa pelan-pelan melupakan semua sejarah yang terjadi pada wanita yang sudah melahirkan Aleo dulu. Bukan melupakan, hanya agar Aleo tidak selalu mengenang masa lalunya yang kelam.

Jasmine tidak ingin menelusuri lebih dalam tentang apa dan kenapa perihal ibu Aleo, karena itu bisa membuka luka lama di dalam hati laki-laki itu.

Mereka berjalan masuk dengan wajah kesal Aleo. Menurut Jasmine, rumahnya sangat mewah meski tak sebesar dulu, tapi berbeda dengan Aleo. Rumahnya memang mewah, tapi suasananya yang terlihat berbeda.

Bahkan Jasmine meminta agar tidak usah memberikan pembantu di rumah ini. Dia tidak menyukai orang yang memanggilnya dengan sebutan non, tuan, nyonya, dan sebagainya. Karena menurutnya, semua orang itu sederajat, tidak ada kasta bawah atau rendah.

"Gue laper." Ujar Aleo dengan suara pelan namun masih bisa Jasmine dengar.

"Kamu mau aku masakin?" tanya Jasmine.

"Nggak usah, gue lebih baik makan diluar." Tolaknya kasar. Namun Jasmine tidak menyerah, ia lantas berjalan ke arah dapur dan mengambil celemek untuk ia pakai.

Semuanya sudah siap, tinggal ia berpikir apa yang akan ia buat. Aleo yang melihatnya hanya menaikkan alisnya sebelah.

"Gue udah bilang nggak usah masak." Perintah Aleo namun lagi-lagi tak didengarkan oleh Jasmine.

Kini perempuan itu sudah sibuk dengan pekerjaan dapurnya, sedangkan Aleo hanya menghela nafas untuk menimalisir segala macam amarahnya.

Laki-laki itu beranjak dan berjalan ke arah Jasmine. Jasmine takut? Jelas, namun se-berusaha mungkin ia tutupi, perempuan itu terus fokus memasak tanpa menghiraukan tatapan peringatan dari Aleo.

"Gue bilang nggak usah, kenapa ngeyel banget sih dibilangin?" Aleo menarik tangan Jasmine yang sedang menggoreng, namun dengan berani Jasmine menatap Aleo.

Tangan Jasmine terulur mengelus pipi Aleo yang nampak gemas sekali dimatanya, tidak apa-apa kan sudah menikah.

Aleo menegang ditempat saat tangan Jasmine mengelus pipinya lembut. "Kalau beli, itu buang-buang duit, Aleo. Terus gunanya sayur sama daging di kulkas buat apa?" Tuturnya lembut, membuat Aleo bungkam dengan sikap perempuan didepannya ini.

Aleo menempis tangan Jasmine, walau tidak keras namun cukup membuat hati Jasmine sedikit sakit. Tidak apa-apa kan baru permulaan, usahanya masih sekecil ini, belum berarti apa-apa untuk Aleo.

"Nggak usah pegang-pegang gue." Sarkasnya lalu pergi dari dapur, namun Jasmine tetap tersenyum.

"Nggak papa, nanti dia bakalan terbiasa sama kamu kok Jasmine." Dialognya pada dirinya sendiri.

Jasmine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang