42. Pilihan (END)

26.6K 1.1K 62
                                    

Hidup berjalan seperti roda, berputar seperti jarum jam yang tidak berhenti, dan masalah yang datang seperti pasang surut ombak laut.

Pilihan yang terbaik, sudah manusia bisa tentukan dengan pola pikir mereka masing-masing, namun Tuhan lebih tahu apa yang lebih baik untuk manusia itu sendiri.

Hidup boleh berantakan, tapi jangan lupa bahwa Tuhan mampu memperbaiki semuanya. Terkadang berusaha saja tidak cukup, harus bisa diselingi dengan doa serta berserah diri.

Hari itu Aleo sudah keluar dari rumah sakit, ia sudah cukup membaik. Tak perlu perawatan yang menye-menye, pikir Aleo, dia bukan ayahnya yang penyakitnya perlu penanganan intens.

Tetapi sakit yang lain muncul, saat laki-laki itu datang rumah panti dan melihat Jasmine duduk berhadapan dengan Fariz. Aleo menghentikan langkahnya, dia tahu obrolan ini tidak seharusnya ia dengarkan. Karena hal itu hanya akan membuatnya tambah sakit hati.

Cukup diam dan tidak tahu, jauh lebih baik ketimbang harus mengetahuinya.

Tidak ada alasan Jasmine menolak Fariz, dia baik, dan dari keluarga yang baik-baik. Bukan seperti dirinya yang sangat jauh perbandingannya. Jika Jasmine adalah wanita yang materialistis, maka Jasmine pasti sudah memilihnya, namun Jasmine bukan wanita yang seperti itu.

Tanpa mau mendengar obrolan mereka, Aleo berjalan menuju taman disamping panti, tempat yang dipenuhi tumbuhan dari jenis bunga bahkan pohon mangga yang lebat akan buahnya.

Aleo duduk disana, menunggu hingga obrolan mereka selesai, tidak tahu sampai kapan, tapi Aleo harus bisa menyelesaikan ini semua, entah itu hubungan yang membaik, atau pada akhirnya hanya akan ada perpisahan.

Gadis kecil berikat dua, datang menghampiri Aleo. Ia memberikan sebuah bunga melati kecil yang aromanya sangat harum.

Aleo tersenyum menatapnya. “Terima kasih.” Ucapnya tulus, lalu menggendong gadis kisaran usia 4 tahun itu.

“Jangan nangis,”

“Siapa yang nangis?” Tanya Aleo merasa bingung mendengar perkataan imut gadis itu.

Dia menunjuk ke arah Aleo dengan tangan mungilnya. Memang, anak kecil tidak mudah dibohongi, apalagi berbohong, bahkan yang dewasa pun sudah ahlinya dalam berbohong.

“Om nggak nangis kok. Siapa yang nangis coba?”

“Om mau aku tunjukkin bunganya bunda?” Kening laki-laki itu bergelombang.

“Bunda? Bundanya kemana?” Aleo berpikir gadis ini bersama ibunya, tapi ia tidak tahu siapa dan dimana ibu gadis itu berada.

Namun, gadis itu dengan perlahan turun dan menarik tangan Aleo menuju ke bawah pohon mangga yang cukup lebat, walau buahnya tidak banyak terlihat.

“Itu, itu bunganya bunda.”

Dengan terburu-buru, gadis berponi itu mendekati bunganya. Mau tak mau, Aleo juga ikut mendekatinya.

Nampak dua buah pot berwarna biru dengan tanaman berjenis peach Lily sudah berdiri cantik disana. Gambar matahari terlukis apik dengan pot yang ukurannya tidak terlalu besar itu.

“Bunda selalu naruh itu di kamarnya, telus tiap pagi di jemul di sini. Bunganya cantik kan om?”

Aleo tersenyum tipis dan mengangguk. Ia mengelus salah satu daun itu karena merasa ada hal yang berbeda dari tanaman itu. Tanaman itu seperti sangat dijaga, memiliki ukuran pot serta memiliki jenis yang sama.

“Bunda!” Aleo langsung refleks menoleh saat gadis kecil tadi berteriak, memanggil seseorang.

Ia bertatapan dengan wanita yang dipanggilnya bunda itu.

Jasmine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang