31. Rektifikasi [END]

35 5 0
                                    

31. REKTIFIKASI

R e k t i f i k a s i

"Pembetulan Kesalahan"

*

Pelukan hangat kudapati. Aku membalasnya penuh sayang. Dicoleknya hidungku dengan pasir pantai. Aku terkekeh pelan. Seakan mengetahui aku akan membalas, dia lebih dulu kabur. Menyusul adiknya.

Rasha. Rashi.

Anak-anakku.

Seulas senyum menghiasi wajahku sambil menatap sunset dipenghujung yang akan tenggelam. Mewarnai langit keorangenan dengan sangat indah. Setiap orang menikmati momen, bukan hari. Ada momen-momen bahagia saat seperti ini.

Dia datang.

Mendekat dengan membawa es dogan yang baru saja dipesannya.

Pria yang koma selama hampir setengah tahun itu mendekat ke arahku. Hidupnya diperbolehkan Tuhan memiliki kesempatan kedua. Aku sangat-sangat bersyukur. Pria itu bisa melawan masa kritisnya.

Habasra Legous.

Pria yang sudah sah menjadi suamiku sejak satu tahun silam.

Basra memberi es dogan ini kepadaku. Tidak melewati kesempatan kakiku yang lurus di pasir putih pantai, dia menaruh kepalanya di atas pahaku sebagai bantalan. Seulas senyum terpancar dari wajah berpahat menawannya.

"Cantik."

Tanpa aba-aba tangan kanannya menarik tengkukku. Mulut kami bertemu satu sama lain dalam lumatan-lumatan kecil penuh kelembutan. Sekali brengsek memang brengsek. Melihatku yang kehabisan oksigen, barulah Basra menyudahi ciuman liar itu.

"Terima kasih, Aruma Legous. My wife."

"Bukankah setiap orang yang memiliki kesalahan berhak untuk kesempatan kedua?"

Saat aku berujar, kutatap matanya yang sendu. Tanganku sibuk menggelintirkan kancing kemeja Basra yang terbuka, menampakkan dada bidang tubuh tegapnya. "A-ku, a-ku minta ma-af ... karena tidak bisa menjaga diri."

Basra tersenyum. Tangannya mengelus kepalaku lembut. Sesekali rambutku yang tersibak angin disingkirkannya dengan menyelipkan ke belakang telingaku.

Tangannya bertaut dengan jari-jariku. Tatapannya berpindah melihat Rasha dan Rashi yang sedang bermain air pantai dipinggiran. Kurasakan kecupan hangat ditanganku. Aku mengulas senyum.

"Saat itu aku tidak datang terlambatkan?"

Aku terkekeh pelan. "Hampir bo-doh."

Basra tersenyum hangat saat melihatku tertawa. Merasa diperhatikan buru-buru kukembalikan mimik wajah sebiasa mungkin.

"Maaf ... Aruma ... Aku benar-benar bodoh menjadi suami. Aku ... menelantarkanmu dijalanan yang sepi malam hari ...., Aku ... tidak bisa berpikir jernih darimana kamu mengetahui semuanya ... Jadi a-aku hanya bisa melepasmu sesuai keinginan yang kamu mau."

Kini tatapan Basra beralih ke Rasha dan Rashi yang bermain air dipinggir pantai.

"Pasti susah ya hamil mereka? Maaf... aku tidak bisa menemani di awal masa kehamilanmu." Basra menatapku.

"Maaf ... Aruma ... Untuk semua yang terjadi di masa lalu."

"Bisakah kamu diam. Masa lalu hanya tinggal masa lalu, Mas."

Dia tersenyum saat aku berujar demikian. Hal yang diinginkannya setelah dia sadar dari koma. Dan kalian tau apa yang dilakukannya saat nyawanya baru saja kembali ke dunia?

Hari itu menjadi saksi bisu. Dentangan arloji jam rumah sakit menjadi bukti bahwa Basra mencium perutku yang hamil anaknya penuh dengan air mata dalam waktu yang lama. Dia menangis. Memelukku dengan erat, mengucapkan kalimat maaf tiada henti. Tanpa sadar air mataku juga terjatuh.

Ucapan darinya sangat-sangat tulus. Aku merasakannya.

Semua sudah dibereskan oleh Bian dan Sagita. Mengetahui kebusukan Royale Clash, hakim memutuskan untuk menutup perusahaan itu. Ayah Agam jatuh sakit, ibunya yang tidak terima anaknya meninggal pun ikut menuntut Basra. Tapi, semua dipatahkan ketika kamera cctv berhasil merekam peristiwa pelecehan yang dilakukan Agam kepadaku.

Agam memang pantas mati.

Mendapat berita buruk itu ditayangan-tayangan televisi, bukde bersama Fatir dan pakde datang ke ibu kota. Menemaniku selama Basra koma.

Semilir angin kurasakan berembus pelan. Menyejukkan sekali. Pepohonan bersiuk-siuk menari, seakan menyapa seluruh wisawatawan di sini penuh suka cita. Dipenghujung sunset ini semua terasa indah.

Basra bangkit dari rebahan, kini tubuhnya disejajarkan dengan diriku. Diapitnya pundakku, menaruh pelan kepalaku di dada bidangnya. Helusan-helusan kecil dapat kurasakan. Dia mengunci wajahku berhadapan dengan wajahnya.

Tiga detik yang mendebarkan bagi jantungku.

Keningku dikecup dalam waktu yang lama.

"Aruma ... Terima kasih untuk semuanya."

REKTIFIKASI END

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

REKTIFIKASI END

***

DIMOHON UNTUK KERENDAHAN HATINYA YANG SUDAH MEMBACA SAMPAI END SILAHKAN MEMBERI "KESAN" KEPADA CERITA INI.

"KESAN" ITU SANGAT BERARTI BAGI PENULIS.

LUV, PIM.

REKTIFIKASI [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang