5. Ibu Pergi

60 9 2
                                    

Tekan tanda 🌟 sebelum membaca!

Selamat membaca😁

》°BAGIAN 5 : IBU PERGI °

R e k t i f i k a s i

Sepertinya hujan akan turun.

Sepoi-sepoi angin berembus perlahan, menilik ke setiap jengkal tubuh. Pepohonan rindang menjorok dekat dengan pemakaman daun-daunnya bersiur-siur pelan. Kicauan burung di langit bershutan saling adu. Awan hitam mendung bergumpal di atas, menutupi cahaya cakrawala.

Ibu pergi.

Dengan keadaan tangan dan kaki yang putus.

Ustadz membaca doa. Setiap orang khidmat.

Tiga jam berlalu, pemakaman selesai. Aku hadir, tapi tidak dengan Fatir. Dia bahkan belum kuberitahu jika ibu sudah tiada. Mental Fatir untuk sementara ini saja masih down. Di saat waktu telah memulihkan keadaan. Di saat kesedihan hilang seiring hari berganti, aku akan memberitahunya. Mau tidak mau. Fatir berhak tau atas kepergian ibu.

Teman-teman pasar datang menjenguk tadi pagi. Selepas pemakaman selesai. Mengucapkan belasungkawa dan meninggalkan beberapa paket bunga. Itu tak penting! Hal yang penting jika keluarga terdekat meninggal adalah kau bisa hadir menemani keluarga yang ditinggal tersebut. Bukan hanya sekadar mengirim paketan bunga dan namanya.

Aku jadi teringat kertas kecil berwarna kuning dengan sepuluh tangkai mawar hitam di atas meja. Tragedi Romagna terjadi ketika aku menerima bunga tersebut. Siapa pun yang memberi bunga tersebut, belum sempat kubaca naasnya kejadian mengerikan terjadi.

"Apa yang kamu lamunkan, Aruma?"

Suara Cik Wan terdengar.

"Tak ada cik. Hanya saja....," aku menghela napas panjang. "Siapa yang tega melakukan hal keji ini." Lirihku.

"Sudah. Polisi sedang mencari tau. Pelaku akan mendapat ganjaran yang setimpal."

Cik Wan beranjak ingin pergi. "Koko bersama Fatir. Aku akan menemui mereka. Kamu mau ikut?"

Aku mengangguk. Memutuskan akan ke ruang sebelah, menjenguk Fatir.

Rumah sakit selalu ramai. Orang-orang keluar masuk melesat hampir setiap hari. Datang kemari dengan kebutuhan yang berbeda-beda. Ada yang ingin berobat. Ada yang nginap di rumah sakit bersama keluarganya yang sedang sakit. Beberapa juga terlihat sedang menjenguk sanak saudara.

Aku terkesiap. Seseorang di depanku. Tersenyum ke arahku. Aku menatapnya, lantas tersenyum getir. Berjalan mendahului, tak kuhiraukan.

Lima detik berlalu.

Aku digendong.

Aku terkejut bukan main. Apalagi Cik Wan, walau diiringi tawa kecil.

"Anak muda sekarang." Cik berlaju lebih dulu.

Langsung saja kupukul-pukul pria ini. "Turunkan aku, Basra sialan!"

Basra terkekeh. "Kamu sedang sakit, tapi tenagamu dua kali lipat lebih kuat."

Mataku melotot, laku menyikut lengannya dengan kuat. "Turunkan aku bodoh!"

Berhasil!

Ada pepatah bilang, datang tak diundang, pergi tak dihantar yang artinya seseorang yang berkunjung itu tidak penting sama sekali. Seperti seseorang didepanku sekarang, aku tak ingin melihatnya tapi dia selalu saja ada dimana-mana.

"Maafkan aku, karena kejadian semalam, ibumu...," Basra menatapku, "pergi." Lirihnya.

"Ibumu juga berada di sana. Khawatirkan saja kamu dan ibumu." Aku membelakanginya. "Urus saja urusanmu sendiri. Dan juga kamu sudah memiliki kekasih, kan?"

REKTIFIKASI [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang