17. Viola

51 7 7
                                    

Tekan tanda 🌟 sebelum membaca!

Selamat membaca😁

°BAGIAN 17 : VIOLA°

R e k t i f i k a si

Dentangan arloji jam menggema di kamar apartemenku. Aku terbangun dengan napas bergemuruh, keringat membasahi tubuhku. Hening. Senyap. Ternyata tadi itu hanyalah mimpi. Mimpi buruk di siang bolong.

Udara di luar sejuk. Pepohonan rindang berjajar menjulang tinggi. Kamar apartemenku dekat dengan panorama alam, keindahannya tampak dari kaca transparan besar. Aku nendongak menatap langit-langit luar. Kabut sedikit menyelimuti, gumpalan awan gelap berkumpul sepertinya hujan akan turun.

Pesawat terbang melintas terlihat, mereka sangat tinggi. Lampu hijau kecil menyala-menyala di sayap kanan dan kirinya tanda bahwa pesawat beroperasi. Suara cericit burung siuh-riuh berhamburan dari pohon-pohon.

Sagita sudah mengantarku ke apartemen dan aku langsung tertidur. Memgingat semalam aku yang tak bisa tidur.

Untung saja itu semua hanya mimpi, jika benar-benar kenyataan kupastikan sekarang aku tengah dibawa ke UGD dalam keadaan kritis.

Pukul tiga kurang sepuluh menit petang hari. Sial! Basra sebentar lagi datang. Tentu saja aku tak lupa jika akan pergi ke ibukota naik pesawat jam empat sore. Ya Tuhan! Kuharap pesawat yang akan kami naiki delay diundur karena suatu hal. Meski terkadang ada beberapa orang yang berdoa supaya pesawat ontime, tapi, tak sedikit juga orang-orang berdoa agar pesawat mereka terlambat.

Segera kuberkemas seadanya. Membawa beberapa baju dan langsung kumasukkan ke dalam koper. Notifikasi dihandphoneku masuk, banyak sekali.

35 missed calling ....
119 messages new ....

Tentu saja itu semua dari Saga. Aku menaruh kembali handphoneku, sama sekali tak berminat membuka apalagi membaca. Tapi, kuurungkan. Aku belum izin ke bukde. Bukde harus mengetahui agar tak khawatir, walaupun mengingat perkataan Basra sebelumnya bahwa tak usah risau mengenai bukde karena dia sering datang ke rumah.

Apa maksudnya itu?

Pakde dan Bukde pasti mengetahui jawabannya.

Baru saja aku pikirkan, deringan telephone terdengar dan ini dari bukde. Panjang umur untuk bukdeku. Aku mengangkat, suara Fatir terdengar.

Mbak akan pulang? Ke ibu kota dulu?

Darimana Fatir tau?

Salam dulu, Fatir.

Dapat kurasakan kini Fatir tertawa pelan, dia lupa mengucapakan salam. Sesuatu yang harus dilakukan oleh sesama muslim dikala bertemu ataupun hal lainnya seperti masuk ke dalam rumah.

Kamu tau darimana?

Hehe.

Seseorang tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Fatir dapat bilang seperti itu yang bahkan aku pun tak berani berkata itu. Aku memutuskan mengakhiri hubungan dengan Saga kemarin sore, tapi, sekarang Fatir malah bawa-bawa calon. Dasar anak kecil!

Fatir, boleh mbak bicara dengan bukde?

Aku menarik napas perlahan, tak ada gunanya berdebat dengan Fatir ditelephone. Pun jika aku menanyainya lagi, dia pasti tak akan menjawab, yang ada ngomong seenak nabok nyamuk lagi. Tenang Aruma...., tenang.

Panggilan terputus. Aku menatap layar smartphone, kuulang kembali memanggil bukde tapi suara operatorlah yang kudengar.

Sisa pulsa anda tidak cukup untuk melakukan panggilan. Silahkan isi ul----- ....

REKTIFIKASI [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang