24. Goresan Tinta Ibu

24 5 0
                                    

24. GORESAN TINTA IBU

R e k t i f i k a s i

Pagi sekali, mataku terbuka. Kuedarkan pandangan. Berada dalam sebuah hotel, ada seorang pria yang bukan mahramku di sebelah ranjangku. Melakukan hubungan selayaknya suami istri padahal kami belum menikah.

Air mataku menganak sungai, perlahan menetes. Aku berusaha bangkit, walau terasa perih. Segera melakukan ritual aktivitas di pagi hari.

Saat kembali, dia masih tertidur. Cih ... sekali brengsek tetap brengsek.

Mengemaskan kembali semua pakaian, aku tidak sanggup menjalani ini bersamanya. Persetan dalang tragedi Romagna. Hidupku hancur karena kesepakatan sialanku bersama Basra. Ternyata air mata ini tumpah, lagi.

*

Detik beganti jam, jam berubah menjadi hari dan sudah dua minggu lamanya aku kembali ke Kalimantan. Rumah bukde. Pulang ke mereka.

Di luar hujan, Agustus datang dengan cepat. Membawa kenangan yang buruk menjelangnya. Aku menghela napas. Tidak banyak aktivitas yang kulakukan, hanya ke kantor jika ada panggilan, keluar kamar ketika ingin buang air kecil.

"Mbak, ayo makan." Suara Fatir terdengar meredam, karena derasnya hujan. Aku tetap diam, memeluk lutut sendiri sembari menatap ke luar jendela yang mulai menggelap. "Aruma, kamu kenapa, nduk? Kemarin kamu juga belum makan, seharian di dalam kamar."

"Nanti Arum menyusul bukde."

Tidak ada lagi yang berteriak dari depan kamar. Kubaringkan tubuhku, menatap langit-langit kamar. Akhir-akhir ini aku mudah mengantuk. Perlahan aku menutup mata, sampai akhirnya aku benar-benar terlelap.

*

Keringat dingin mengucur didahiku. Suasana di luar hujan, tapi, aku seakan-akan kepanasan. Buru-buru kubuka selimut, beranjak menuju kamar mandi. Perutku bergejolak ingin memuntahkan sesuatu. Bau amis darah dalam mimpi itu masih terngiang dibenakku. Tiga pria mati tewas ditembak oleh Adam, dan itu terbawa dalam mimpi.

Tanganku menyanggah di pintu kamar mandi. Melirik arloji di kamar, pukul 17.00 petang hari. Aku lapar, dan segera turun ke bawah. Satu kue cemilan berhasil kumakan dengan lahap. Kuedarkan pandangan, sepi.

Aku berjalan mendekat ke arah tv. Menyipitkan mata tatkala melihat tulisan yang amat kukenali. Tulisan ibu. Di sebuah amplop berwarna putih yang lumayan berdebu.

Kalimantan, 1997.

Untuk putri ibu tersayang, Aruma.

Kertas ini kupegang dengan erat saat hal pertama kali yang kubaca bahwa namaku disebut.

Bagaimana keadaanmu, nak? Kamu baik-baik saja? Apa kamu sedang berbahagia bersama suamimu sekarang?

DEGG

Omong kosong apa yang ibu bicarakan.

Janji satu hal kepada ibu, ya? Jika kamu selesai membaca surat ini, jangan marah. Ibu ... tidak ada maksud apa-apa, ibu ... hanya ingin kesembuhan untuk Fatir, adikmu. Ibu ... melakukan semua itu untuk kalian, anak-anakku.

Usiamu baru tiga tahun saat Fatir lahir dalam keadaan prematur dan kamu pasti tidak mengingat apa-apa. Adikmu itu terlahir tidak sempurna, dia butuh pengobatan lebih lanjut agar nyawanya tertolong.

Ibu diambang dilema, nak... Saat itu bapakmu tidak memiliki pekerjaan, dia ..., kami ..., kami sama sekali tidak mempunyai uang untuk membayar biaya pengobatan adikmu.

REKTIFIKASI [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang