27. Sunset di Penghujung

17 4 0
                                    

27. SUNSET DI PENGHUJUNG

R e k t i f i k a s i

"Aruma ...." Sudah ketiga kali dia memanggilku hanya agar aku memakan seblak yang barusan dibelinya.

Pria itu menegapkan tubuh, bersandar digagang pintu. Hanya mengenakan kaus berwarna hitam serta celana kain panjang. Basra. Aku menatapnya, wajahnya tidak mengenaskan seperti kemarin. Dia terlihat menawan. Ugh. Aruma enyahkan pikiranmu ini!

"Aku keluar setelah perjalanan kita tadi hanya untuk membelikanmu seblak. Kamu tidur sambil mengigau tentang seblak dalam pesawat. Baru saja kutinggal dua jam, kamu malah naik ke loteng dan rebahan di sana." Basra menghela napas. "Untung saja aku datang tepat waktu."

Menyeringai kecil, aku menatapnya. "Mana ada beli seblak selama dua jam."

Mungkin ... kami di sini sama-sama bersalah. Tapi, buru-buru kumenggeleng, salahkan kakiku yang terpeleset tadi. Saat tubuhku merosot, ada tangan yang langsung melingkar di pinggangku. Memelukku erat. Kami terjatuh bersamaan. Posisi badanku di atasnya dan dia di bawah. Untung saja, nasib baik berada di pihak kami. Satu lantai di bawah loteng, ada sebuah teras.

Suara debuman itu terasa nyaring. Kepala Basra membentur lantai. Aku langsung bangkit, berjalan ke kamar. Dan sekarang, dia menyusulku karena ternyata saat kami tiba, dia langsung pergi keluar untuk mencari seblak. Dengan dalih aku yang menginginkannya saat berada dalam pesawat.

Basra menghela napas. "Saat kita tiba sudah pukul 10.00 malam, Aruma."

Pria itu menaruh seblak yang tersaji dalam mangkuk disebelah ranjangku. "Kamu juga belum makan daritadi. Aku tidak menerima penolakan."

Segera dia bangkit dan pergi, tapi, dia menatapku lamat saat di ujung pintu.

"Untuk hari ini, aku akan tidur di ruang tamu. Besok kita tidur bersama."

"Tidak!"

"Iya."

"Tidak! Kamu di kamar, aku disofa." Putusku. "Begitu pun sebaliknya." Tegasku lagi penuh penekanan.

"Kamu dan aku, kita sudah sah suami istri. Ka-mu is-tri-ku." Sahut Basra menekan setiap kata-kata.

"Is.tri.ku. Aruma Beatarisa."

"Persetan! Setelah anak haram ini lahir, ceraikan aku!"

Tampak raut wajah Basra menggelap. Dia berupaya untuk meredam emosi. Tatapan tajam itu dilayangkan untukku, tidak berhenti sampai situ, kedua tangannya berurat. "Berhenti menyebut anakku dengan sebutan itu, Aruma."

Setelah dia mengucapkan kalimat itu. Basra pergi keluar, dan aku tidak peduli.

*

Amarahku naik, aku berteriak dengan lantang dan keras. Basra tidak kunjung membalikkan badannya. Pria itu langsung masuk ke kamarku tanpa mengetuk terlebih dahulu. Emosiku tambah memuncak karena aku hanya handuk yang melilit ditubuhku.

"BERBALIK BASRA!"

Kulempar guling dari ranjang. Basra terkekeh. "BRENGSEK! KELUAR KAMU!"

"Lain kali ketuk dulu!"

"Buat apa? Ini kamarku juga kalau kamu lupa."

Sialan! Bisa-bisanya dia membalas omonganku.

Aku berjalan ke arahnya. Sebelah tanganku memegang punggung kekar Basra guna mengusirnya keluar dari sini. Tubuhnya berat, dengan tergopoh-gopoh aku mendorong.

Langkah demi langkah, pintu sudah hampir dekat. Aku kelabakan saat lenganku diambil alih olehnya. Dia memutar tubuhku sepersekian detik. Terpojok. Menyudut di dinding kamar. Kedua tangannya mengurungku. Jarak kami dekat. Hembusan napas saling beradu, kedua bibir ini hampir besentuhan.

REKTIFIKASI [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang