Seringai Kemenangan

361 15 0
                                    

Biasakan diri dengan menekan bintang terlebih dahulu sebelum membaca.

Terima kasih telah menekan bintang.

Dan selamat membaca🤗

Let's play, Daddy!

Alvaro dinyatakan koma setelah kejadian malam itu. Jefri, yang waktu itu merasa tuannya tidak sedang baik-baik saja, bergegas kembali ke kantor.

Dan sesampainya di kantor, ia melihat Alvaro tengah mencekik dirinya sendiri sampai pingsan.

Segera ia bawa Alvaro ke rumah sakit. Dan di sana, dokter langsung menyatakan Alvaro tengah koma.

Tiga hari setelah di nyatakan koma, Alvaro terbangun dari tidurnya tersebut. Namun kini, tatapan Alvaro berbeda. Tak lagi tegas seperti dulu.

"Tuan," panggil Jefri.

"Ja-jangan mendekat!" ujar Alvaro.

"Tuan, ini saya Jefri," ujar Jefri terus mendekat. Meyakinkan tuannya,bahwa dirinya bukanlah orang jahat.

"Jangan mendekat!"

Jefri mengalah. Jefri mengalah lalu keluar dari ruangan.

Semua tak ada yang bisa mendekati Alvaro. Pasalnya, Alvaro akan terus melempar orang yang berusaha mendekatinya.

Bahkan sudah ada beberapa perawat yang terluka karena amukan Alvaro.

Malam menjelang. Alvaro tengah meringkuk di atas brangkar rumah sakit tersebut.

Pandangannya terus bergerak ke sana kemari. Seolah takut akan ada yang datang tiba-tiba tanpa sepengetahuan nya.

Bantal nya terus ia peluk. Mencoba mencari rasa aman di sana. Namun nyatanya, rasa takut tak pernah berhenti untuk menguasai dirinya.

Angin mulai berhembus. Mendorong jendela secara perlahan. Menghasilkan suara berderit nyaring. Alvaro langsung menutup telinga juga matanya di saat mendengar suara tersebut.

Tak tahu dari mana datangnya, burung hantu masuk ke dalam ruangan tersebut. Bertengger tak jauh dari sana. Lalu mengeluarkan suaranya perlahan.

Alvaro tak berani berbuat apa-apa. Ia sangat takut bahkan hanya untuk menggerakkan kelopak matanya, agar melihat sekelilingnya kembali.

Daddy!

"Pergi! Jangan mendekat!" pekik Alvaro.

Daddy, ini aku, Selena.

"Selena?"

Iya. Ini aku Selena, Daddy.

"Selena? Tidak! Selena sudah mati! Kamu bukan Selena! Selena sudah mati!"

Kenapa Daddy menganggap ku sudah mati? Aku di sini, Daddy. Aku ada di depanmu.

Alvaro lalu melihat Selena tengah mengenakan gaun putih miliknya, dengan rambut terurai berada di depannya. Wajahnya cantik seperti biasanya.

Ia ingin mengulurkan tangannya kedepannya. Memeluk tubuh kecil Selena. Menyalurkan rasa rindunya selama ini.

Tapi pikirannya menolak. Tangannya bergerak ke atas untuk mencengkram erat rambutnya. Batinnya berkelahi dengan akal sehatnya.

"Tidak! Selena sudah mati! Selena sudah mati! Tidak ada lagi Selena di dunia ini!"

Daddy, aku mohon jangan begini. Kamu akan menyakini diri Daddy sendiri. Aku mohon, Daddy.

"Selena?"

Iya, ini aku Selena Daddy. Jangan lukai dirimu lagi. Aku mencintaimu, Daddy.

"Aku juga mencintaimu, Selena." Alvaro lalu berusaha mendekat pada Selena. Merentangkan tangannya, bersiap untuk memeluk Selena.

"Tidak! Kamu bukan Selena! Selena sudah meninggal!"

Ini aku Selena, Daddy. Kemarilah, Daddy.

"Selena, benarkah itu kamu?"

Tentu saja, Daddy.

"Selena, aku merindukanmu. Aku mencintaimu. Aku tidak mungkin membunuhmu. Aku mencintaimu Selena. Aku tidak akan sanggup melukaimu." Alvaro lalu memeluk Selena dengan air mata yang mulai menetes.

Tidak, Daddy. Bukan kamu yang membunuhku.

"Selena, ayo kita pulang. Kita bermain lagi di rumah kita."

Iya. Ayo kita pulang.

Alvaro lalu keluar dari ruangannya tersebut. Berjalan sendirian membelah malam, kembali ke kediamannya dulu.

Tanpa di sadari oleh Alvaro, Selena yang tengah melayang di udara, tengah memantau Alvaro yang tengah berjalan pulang.

Dari bibir pusatnya, terlihat itu mulai melebar. Menunjukkan seringai penuh kemenangan padanya.

Let's play, Daddy! Hihihi!





To Be Continued

Let's play, Daddy! [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang