Bab 2

7K 1.3K 63
                                    

Bab 2

Aku menyukai apa yang mama sukai. Memasak, menanam bunga, mengurus rumah, dan menjalani kehidupan yang damai dengan keluarga yang lengkap. Aku memang nggak bakat dalam bekerja kantoran, bertemu banyak orang di luar, ataupun membuka usaha WO seperti Mbak Ace, tetapi aku bisa menemukan diriku yang bekerja hanya berdua dengan Mama—sekarang bertiga dengan Mbak Ami—di kebun belakang rumah ataupun di dapur. Akhirnya beberapa bulan lalu aku memutuskan untuk menggeleti apa yang Mama kerjakan setelah bosan mencari kerja ke sana ke mari; menjual tanaman dan kue.

Kami bertiga masih memotong daun yang jelek ketika tiba-tiba Mbak Ami mual tadi. Kronologinya, dia melihat ulat bulu sebesar lidi di salah satu daun dan perutnya langsung berulah; bergejolak seperti kemasukan hal paling menjijikkan di muka bumi. Lalu Mbak Ami lari ke kamar mandi, muntah-muntah seperti orang yang baru sadar sudah menelan ulat itu. Hoek ... hoek .... Mama menyusulnya cepat, memberikan minyak kayu putih dan memijat punggungnya. Aku cuma terhenyak di tempat menyaksikan mereka berdua tergopoh tadi. Suaranya terdengar sampai halaman belakang ini. Lalu setelah sadar, aku membuang ulat itu ke tempat sampah.

Jantungku rasanya mau copot; deg-degan parah. Napasku tersengal beberapa kali. Ya Tuhan, aku pikir hamil itu menyenangkan. Maksudku, perut membesar, menyadari kehidupan kita sebagai perempuan sedang menjadi sebuah semesta untuk seorang bayi. Itu menakjubkan, keren dan luar biasa indah. Namun melihat Mbak Ami beberapa hari ini membuat nyaliku ciut. Bagaimana kalau aku hamil dan aku akan sesulit itu nanti?

"Naya, ada Mas Dewa di depan. Buatkan minuman."

Aku tergeragap bangun, berlari ke ruang tamu. Dewangga duduk bareng papa menghadap burung yang sedang dijemur pagi hari. Di kakinya, ketiga kucing yang pernah aku ambil dari kontrakannya mengelus-elus kakinya.

"Mau minum apa, Mas?" Lalu dia menoleh dan menggeleng sambil tersenyum. Artinya, minum apa saja yang dibuatkan. Kalau di rumahku dia memang nggak mau kelihatan rewel dan bandel. Aku bergegas ke dapur membuatkan teh untuk Dewangga dan jus untuk papa.

"Ami kenapa lagi?" tanya papa begitu aku letakkan minuman di meja kecil di tengah-tengah mereka.

"Muntah, lihat ulat." Aku bergidik. "kemarin lihat katak di depan muntah, lihat telur katak di kolam muntah, lihat cebong sebiji langsung muntah juga." Aku menceritakan ini kepada Dewangga supaya dia mengerti sedikit kekhawatiranku soal hamil. "Aku baru tau bakal semengerikan ini."

"Mama lebih ngeri," kata papa menimpali. "Sampai nggak bisa gerak banyak karena perutnya buesar. Nenek harus masak karena Mama nggak bisa masak. Perutnya sampai harus digendong. Jadi, bayangin, badan keciiil, perut buesar. Seperti busung lapar."

Aku meringis ngeri, rasanya aku nggak mau punya anak kembar. Meski kembar itu lucu, tetapi membayangkan hamil dua biji bayi dan mengeluarkannya dua kali juga.

"Lahirnya normal?" Dewangga penasaran.

"Enggak. Caesar. Usia 36 atau 38 minggu kalau nggak salah. Kamu tau rasanya?" Dewangga menggeleng. "Seperti menghadapi kematian. Kamu pernah berencana mati, tapi kamu nggak tau rasanya takut ditinggal istri yang berjuang melahirkan anak kita, kan?" Dewangga menggeleng lagi, wajahnya memerah. "Kalau kehidupan ini adalah burung, rasanya sayap kita sudah nggak mampu mengepak lagi. Tapi mamanya Naya sehat, selamat, lancar."

Bahuku ikut lemas mendengar itu.

"Tapi kena baby blues lama. Ngurus dua bayi sendirian, pakai jasa baby sitter nggak mau, akhirnya stres sendiri." Lalu papa tertawa riang. "Anin dan Abin pernah ditinggal sama saya dan mamanya pergi ke mal, jalan-jalan."

Aku kembali meringis, mamaku pernah jahat ternyata.

"Begitu pulang nangis karena ASI-nya kepenuhan."

Sweetest BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang