Pantes ada yang kurang, ternyata aku lupa update senin kemarin haha. Sebagai permintaan maaf, besok aku update Bab 5 ya^^
Bab 4
Hal pertama yang aku lakukan saat bangun pagi adalah memeriksa ponsel, berharap ada nomor asing masuk dan menyapaku dengan sebutan sayang, tetapi nihil. Pesan masuk hanya dari mbak-mbak WO, catering, Brenda, teman lama yang dapat undangan tiba-tiba dan baru sempat membukanya, dan beberapa dari orang lain yang semuanya malas aku baca. Tubuhku lunglai lemas di kasur dengan pandangan putus asa. Aku menyesal karena nggak hafal nomor Dewangga, dan mama betul-betul menghapusnya dari ponsel maupun dari email. Tidak ada jejak.
"Setengah jam, Ya, kamu beneran nggak mau ngelakuin apa-apa?" tanya Mbak Ami yang kembali masuk ke kamarku setelah datang ke sini setengah jam yang lalu.
Aku menjawab lesu. "Nope. Aku mau rebahan dulu."
"Masih ada waktu kalau mau menicure pedicure."
"Besok ajalah."
"Besok ada cek terakhir baju pengantin, lho." Dia mengingatkan jadwal dari Brenda.
"Besok ketemu Dewangga dong?" Mataku agak jerni menanyakan ini, tetapi dengan kejam Mbak Ami menggeleng.
"Brenda setuju jadwal kamu ketemu dia beda sama jadwal dia ketemu Dewangga. Lagian, baju Dewangga nggak ada yang perlu diperbaiki. Tinggal ambil."
Aku merengek memelas. Nggak bertemu karena dia bekerja sama sekali beda dengan nggak bertemu karena dipingit. Kami nggak boleh berinteraksi bahkan melalui surel.
Surel? Seperti ada bohlam seribu Watt di atas kepalaku ketika menemukan ide cemerlang untuk menghubungi Dewangga. Ya, mama dan Mbak Ami, atau siapa pun, nggak akan tahu aku sudah menghubungi Dewangga melalui surel. Aku meraih ponsel, lalu dengan cepat membuat pesan baru dan memasukkan alamat surel Dewangga.
Selamat pagi, Mas Dewangga. Kabar baik tanpa Anindhya?
Oh, tentu saja aku nggak akan mengakui secepat itu bahwa aku kangen dengannya. Aku kangen suaranya yang merdu, kangen genggaman tangannya yang hangat, kengan tawanya yang lepas dan gampang menular, kangen tatapan matanya yang kadang lembut kadang galak, kangen aromanya yang musk bercampur citrus, kangen kemurahan hatinya dalam membuatku bahagia. Aku kangen segala hal yang ada pada dirinya, hingga ketololannya saat nggak mengerti kode yang aku berikan.
Sebuah balasan email masuk membuat hatiku berbunga-bunga. Namun ketika membacanya, perasaan itu lenyap seketika. Address not found. Aku meniti email Dewangga sekali lagi, benar, ini yang aku tahu. Lantas kalau bukan ini siapa lagi namanya?
"Luluran, Naya, biar rileks." Mbak Ami masuk lagi ke kamar membawa seperangkat alat untuk melakukan lulur.
"Pinjam HP-nya Mbak Amiii."
"Buat Dewangga?"
"Iya." Aku menatapnya memelas, tetapi Mbak Ami sangat kejam dengan mengedikkan bahu tak peduli.
"Dewangga sehat kok, bahkan hari ini masih kerja sama Pak Cakra."
"Telepon sebentaaar aja." Kugerakkan jari untuk meyakinkannya. "Cuma mau ngingatin biar jaga kesehatan. Dia suka lupa makan lho, nanti kalau magh lagi gimana? Nggak ada yang ngurusin dia."
Mbak Ami tampaknya nggak yakin dengan itu. Dia duduk di dekatku, mengotak-atik ponselnya agak lama, lalu menelepon seseorang. Wajahku pasti seperti bocah yang minta dibelikan gulali, menunggu dengan cemas nada sambung di ponsel Mbak Ami sampai berubah menjadi suara seorang lelaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetest Bride
RomanceDewangga-Anindhya season 2. Baca All That is Lost Between Us terlebih dahulu sebelum baca ini. Kamu ragu menjadikan aku suamimu, kan? Ragu karena aku punya banyak kekurangan, karena belakangan ini ada dua cowok yang terang-terangan ngajakin kamu ni...