Bab 3

6.1K 1.1K 56
                                    

Bab 3

Sejak awal merencanakan resepsi besar untuk acara pernikahanku dengan Dewangga, aku sudah memikirkan reaksinya nanti. Aku berharap dia punya keberanian menolak, atau paling tidak mengutarakan pendapat. Trust me, menikah di saat sudah menjadi yatim piatu sama sekali berbeda rasanya. Pada momen-momen mengharukan itu, mungkin banyak kenangan yang terpanggil ke otaknya.

"Makanya aku usulkan menikah saja di KUA, nggak perlu pakai resepsi. Mama dan Papa juga udah mantu Mas Abin, kalau aku nikah tanpa resepsi, sangat nggak masalah harusnya."

Dewangga menghirup aroma dari leherku dan pelukannya semakin erat. Aku mengusap punggungnya berharap dia tenang dengan perlakuan ini. Dia sendiri yang memilih mengadakan resepsi, yang aku tahu karena dia merasa nggak enak sama mama dan papa kalau nggak membiayai pernikahan ini sebagaimana harusnya status sosial keluargaku.

"Sekarang nggak bisa batal."

"Aku tau." Dia menjauh dari tubuhku, tersenyum kecil. "Cuma mendadak ingat mama."

Ya, aku juga tahu perasaannya. Aku menatap langit-langit rumah, mencari bayang-bayang yang mungkin saja kali ini muncul. Namun nihil, sejak kesembuhan Dewangga, Mama Mira nggak pernah muncul lagi. Dewangga juga nggak bisa membaca pikiranku lagi. Aku seperti menemukan korelasi di antara keduanya.

"Kami seperti Potts kalau bersikap sedewasa ini," katanya memulai.

"Kamu seperti Hulk saat masih jadi manusia normal."

"Namanya Dr. Bruce Banner, Nin, dia ilmuan radiasi gamma."

Ilmuanlah, pahlawanlah, bagiku dia tetap hulk yang mengerikan sekaligus lucu. Aku paling suka adegan dia membanting Loki berkali-kali seperti membanting kucing pencuri ikan.

"Omong-omong, mau tinggal di mana kita habis menikah?"

Aku menopang dagu, lalu menjawab santai. "Aku mau ngerasain tinggal di perumahan kecil yang cuma ada dua kamar, satu dapur, satu kamar mandi, satu ruang tamu dan ruang keluarga."

"Really?"

"Yap!"

"Apa yang memotivasi kamu mau tinggal di rumah sesempit itu?"

Aku tersenyum pongah. Dewangga sudah memulai hidup minimalis. Dia jarang—bahkan hampir tidak pernah—membeli barang yang nggak dibutuhkan. Aku pun ingin hidup yang demikian. Petualangan memiliki hidup yang minimalis terdengar menantang.

Ketika dahinya mengerut dan matanya menyipit, aku tahu Dewangga sudah menebak apa yang sedang aku pikirkan.

"Aku nggak yakin," katanya enteng. "Hidup minimalis di rumah minimalis, artinya kamu nggak bisa bebas masak karena dapur sempit, kulkas seadanya, lemari minimalis juga."

"Aku sudah memikirkannya."

"Berkebun? Di pekarangan perumahan kecil yang kamu maksud, aku nggak yakin ada lahan yang luas."

"Aku sudah memikirkan itu juga."

"Kamu yakin nggak akan bingung pakai baju mana kalau dapat undangan, mau jalan-jalan, mau makan malam?

"Aku juga sudah memikirkan yang itu."

"Sepatu dan tas hanya sedikit?"

"Aku sudah memikirkan semuanya, Bapak Dewangga yang terhormat. Itu menantang, kan?" Dia masih kelihatan belum puas dengan jawabanku. "Kamu pernah mikir gimana kalau hidup kita kekurangan uang? Hidup kita serba terbatas? Nggak bisa melakukan banyak hal dan nggak bisa membeli banyak hal. Aku mikirin sesuatu yang keren buat kita, supaya hidup kita berwarna."

Sweetest BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang