Bab 11

7.9K 853 31
                                    


Anindhya

"Jack... Jack..."

Dewangga terus melongok ke kolong meja dan kursi. Dia hanya memakai celana pendek setelah sesi bercinta kami malam ini. Entah setan dari mana yang merasukinya, tiba-tiba dia teringat Jack. Kucing itu tadi dibiarkan di sofa sendirian karena kami belum punya tempat tidur khusus, sekarang entah sembunyi di mana.

"Jack..."

"Mungkin dia malu denger kita berisik, Mas, terus pergi."

"Makanya jangan berisik banget, Nin."

"Kamu juga berisik." Aku tak terima. "Lagian kalau aku berisik, itu karena ulah kamu."

"Kamu berisik tanda kamu senang, kan?" Wajahnya yang semula kebingungan mencari Jack, kini kembali girang. "Ya nggak masalahlah, kalau kamu mau berisik tiap malam. Asal kamu senang."

Yah, laki-laki dan selangkangan kapan bisa dipisahkan? Bahkan Dewangga yang selama kami pacaran kelihatan pandai menahan diri pun kini pintar menggoda. Dulu jangankan meraba payudara, mengusap punggungku di saat kami ciuman saja bisa membuat dia berjengit kaget, lalu mundur cepat. Sekarang, aku nggak pakai bra bisa membuat dia tegang seketika.

"Jack..."

Oh, dia teringat anaknya. "Coba ke kamar mandi," saranku. Dia tak percaya, tetapi lantas menuju ruangan itu.

"Jack! Anak papa."

Suamiku... suamiku... sekarang dia jadi papanya kucing gengsian. Aku tak menyangka dia sebasurd ini sama kucing.

"Ngapain kamu di kamar mandi? Onani?"

"Masss!" Astaga suamiku ini!

"Bisa jadi." Dia membawa Jack ke sampingku. Bulunya yang tebal dan panjang itu agak basah kena air. "Kamu mau dibelikan kucing betina?"

Ngong....

"Sayang, kayaknya memang harus ada kucing betina."

Aku melengos karena itu hanya akal bulusnya Dewangga. Dia tidak cukup hanya dengan satu kucing saja. Aku sih malas memikirkan kucing betina akan lahiran nanti. Kalau Dewangga bisa menjaga kucing lahiran 24 jam, tentu aku nggak keberatan.

Tiba-tiba ponselnya berdering lama, dia memintaku mengangkat telepon yang masuk. Kontak dengan nama Oy berkedip-kedip, loudspeaker aku aktifkan setelah memastian telepon terhubung.

"Wa." Nevan Cakra memulai tenang. Aku terbayang ekspresinya saat ini. "Mau nengok rumah baru dulu enggak? Rupanya lebih enak dari yang aku bayangin, Wa."

"Thanks, Bang. Aku nyaman di rumah baruku sendiri."

Nevan Cakra tertawa. "Siapa tau Anin mau."

"Nggak kukasih izin."

"Tapi aku pengin lho..." Aku buru-buru menyela. "Mumpung kamu belum aktif kerja, nanti kalau Mas Abin udah ngasih kerjaan, kamu nggak bisa ngunjungin dong."

Dewangga kukuh menggeleng. Jack diangkat dan diajak bicara, mirip seorang bapak pada bayinya.

"Sehari perjalanan sampai, Nin." Suara Nevan Cakra kembali menggoda. Sayangnya soal ini aku tidak bisa banyak berkutik, bagaimanapun Dewangga harus setuju dulu.

"Kapan-kapan deh, Pak."

"Matikan ya, Bang." Dewangga menutup pembicaraan itu dengan cepat, lalu dia menurunkan Jack dan membiarkan kucing gengsian itu menggelepar di lantai yang dingin. Ponselnya diperiksa, beberapa pesan masuk dari kolega bisnis dilewati, lalu berhenti di pesan Nevan Cakra. Sebuah alamat lengkap dengan link share location-nya dan beberapa foto rumah tampak samping dengan latar pegunungan yang asri.

Sweetest BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang