Bab 9

4.6K 700 13
                                    

Bab 9


Berbanding dengan wajahku yang berbinar-binar senang, Dewangga malah kelihatan tertekan. Sekali lagi, untuk meyakinkan aku betapa putus asanya dia dengan pilihanku, dia mendesah dan berkata.

"Apa kata Papa Budi kalau lihat rumah ini, Sayang?"

"Nggak ada yang salah kok. Ini rumah sama kayak rumah pada umumnya. Temboknya, atapnya, lantainya, sama semua. Cuma modelnya yang beda. Nggak ada yang bocor juga."

"Kamu paham maksudku," katanya lesu.

Aku terkikik. Menatap isi rumah yang kosong melompong itu membuatku senang bukan main. Meski begitu kami belum sepenuhnya setuju. Aku harus tanya mama, papa, Mas Abin dan Mbak Ami sebelum membayar rumah ini. Kalau jadi, akan langsung kukembalikan kunci apartemen mama dan menempati rumah ini.

"Aku nggak sabar lho main rumah-rumahan sama kamu di sini."

Dewangga masih kelihatan tertekan, tetapi tak menolak saat aku peluk erat-erat.

"Pulang?" tanyanya.

Aku mengajaknya kembali ke apartemen. Sebelum itu kami berhenti membeli sayuran, seafood dan beras lima kilo untuk makan hari ini. Tampaknya dia pasrah dengan rasa bahagiaku dan tidak bisa menolak untuk tersenyum begitu kami tiba di apartemen.

"Aku rela diketawain Abin demi dapat rumah itu." Dia mendesah lagi. "Asal kamu puas."

Aku tergelak. "Saatnya aku bikin kamu puas ya. Mau makan nasi goreng aja sekarang?"

"Boleh."

Nasi goreng seafood spesial buatanku khusus untuk Dewangga tersaji tak lama kemudian. Seperti biasa, aku dapat seporsi mini dan dia menghabiskan sisanya dengan lahap. Jus buah naga dengan sedikit susu kusajikan sebagai penutup, lalu Dewangga mencuci piring bekas makan kami.

"Aku masih punya satu hidangan penutup," ucapku sembari membuka kulkas. Satu cup es krip dengan ukuran sedang kukeluarkan, Dewangga tak begitu tertarik dengan itu. Dia bukan pecinta es krim, by the way.

Aku duduk di meja, tepat di depannya yang menyandar di kursi dengan wajah kekenyangan. Kupastikan, jika dia nggak rajin olahraga, perutnya akan segera membuncit karena suka sekali menghabiskan masakanku.

"Mau?" tawarku.

"Thanks. Jatahmu."

"Cobain satu sendok."

Seketika wajahnya mengkerut setelah menelan satu sendok es krim. Rasa yang aneh, katanya. Seumur hidup, aku hanya mengenal satu orang yang mengatakan rasa es krim ini aneh, dan dia suamiku sendiri.

Aku turun dari meja dan duduk di pahanya. Tangannya seketika melingkari pinggangku, bibirnya mengecup pipiku, lalu dia menolak saat kusuapi satu sendok es krim lagi. Aku menghabiskan es krim itu cepat-cepat, lalu meletakkan cup-nya ke meja begitu saja. Kupeluk lehernya dan bibirku memonopoli bibirnya. Dewangga agak terkejut dengan itu, tangannya masih tenang menahan punggungku agar tak terjatuh.

"Anindhya, kamu oke, kan?" bisiknya ketika punya kesempatan.

"No." Ada sesuatu yang meledak dalam diriku, atau tepatnya, sesuatu yang ingin diledakkan. "Es krim itu punya sesuatu." Kusesap kulit pundaknya sesaat.

"Jangan bercanda," katanya. Aku tertawa kecil, tentu saja bohong. Es krim itu baik-baik saja, perasaanku yang sedang mendambakan dirinya. "Aku tadi pagi udah mandi wajib, lhooo."

"Oh ya?" Matanya langsung melebar.

"Pas kamu work out."

"Dan sekarang?"

Sweetest BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang