Bab 8

5.1K 807 22
                                    


Bab 8

Setiap mama tahu apa yang dirasakan anaknya.

Aku pernah membaca bahwa menjadi orang tua artinya sakit di saat anak sakit, senang di saat anak senang, dan perasaan itu 53 kali lebih dari yang dirasakan anaknya. Ketika kau menjadi orang tua, kau akan merasakan cinta yang sangat besar.

Dan sekarang aku melihat itu di mata Mama Ayna. Ketika dia menyerahkan sebuah kunci salah satu apartemen miliknya, ekspresi wajahnya acuh tak acuh, tetapi sorot duka terpancar sangat jelas. Seperti dia harus melepaskan barang yang selama ini dia rawat dengan penuh kasih begitu saja.

"Cari rumah yang paling nyaman, yang akses ke tempat umumnya mudah, tetangganya nggak ribet dan nggak suka ngomongin satu sama lain. Kalau bisa rumah itu jangan ngutang, Ya, kalau uangnya nggak cukup bilang, biar dibantu papa."

"Katanya disuruh buat aja."

"Nggak jadi. Mas nggak dikasih kok kamu dikasih. Beli aja kayak mas."

"Terus kunci ini buat apa?"

"Tinggal dulu di apartemen sambil lihat-lihat rumah. Jangan terburu-buru belinya, dipikir baik-baik."

"Aku niat tinggal di rumah ini beberapa bulan lho, Ma."

Mama langsung berbalik badan dan tersenyum kesal. "Kok nggak yakin, ya? Mama dulu sih maunya rumah sendiri, nggak mau sama orang tua."

I see. Meski begitu aku yakin dia berharap rumah ini masih dihuni dua tuyulnya yang beda kelamin. Aku mengalihkan pembicaraan sesegera mungkin, dan kebetulan Dewangga muncul juga di dapur. Dahiku berkerut melihat kedatangannya.

"Mau kopi?" Dia menggeleng. "Teh? Susu?" Dan dia masih menggeleng.

"Ada kue sisa kemarin di lemari, siapin ke piring sekalian buat papa." Mama memanaskan air, lalu bertanya kepada Dewangga. "Mas mau kopi atau teh?"

"Kopi, Ma."

Bibirku menipis mendengar jawabannya. Bukannya tadi aku tawari juga? Kenapa dia menjawab setelah ditanya mama? Miris, tetapi aku tidak akan protes karena ini. Aku mengeluarkan bahan masakan di kulkas, berdiskusi tentang apa yang bisa dimasak hari ini. Papa tetap menjunjung tinggi daging ayam, Dewangga makan apa pun selain ayam, aku dan mama hanya mengikuti mau mereka.

Siangnya aku dan Dewangga mengunjungi apartemen mama, memeriksa kelengkapan dan kebersihannya. Apartemen itu terdiri dari dua kamar, sofa panjang dan sofa kecil menghadap televisi, meja makan dan dapur sederhana.

"Suka atau ada yang kurang?"

"Suka," jawabku sembari menyentuh meja yang putih bersih. "Kamu mau pelihara kucing lagi?"

"Kayaknya enggak, udah punya peliharaan baru."

"Kamu nyamain aku sama peliharaan?"

Dewangga terkekeh-kekeh. Kami kembali memeriksa kamar tidur, membuka lemari besar yang kosong, meja kerja di sudut ruangan, ranjang empuk dengan bedcover warna cokelat, dan meja rias di dekat jendela. Temboknya berwarna cream, warna andalan mama untuk cat tempat tinggal.

Dewangga sudah berbaring di ranjang saat teleponnya berbunyi kencang. Dia mendesah, lalu menempelkan ponselnya ke telinga. Penelepon itu pasti Nevan Cakra karena dia memanggilnya dengan sebutan 'bang' yang pasti mengabarkan berita penting untuk Dewangga. Meskipun mereka dekat, tetapi aku tercengang saat mengetahui intensitas mereka bertukar pesan. Sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah mengirim pesan tanpa ada kepentingan pekerjaan.

Sekadar tanya apa kabar pun, rasanya nggak pernah. Ingatanku jadi terlempar pada momen-momen Dewangga sembuh dahulu. Nevan Cakra sama sekali tidak bertanya, hanya menatapnya lurus-lurus dengan garis bibir melengkung tipis. Di matanya ada sorot kelegaan sekaligus rasa bersalah.

Sweetest BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang