Bab 6

7.7K 1.2K 143
                                    


Bab 6

Harus berapa kali sih, aku kalah karena mencintai Dewangga? Sekali, dua kali, tiga kali? Lebih banyak dari itu, sampai-sampai aku nggak bisa mengingat semuanya.

Mulanya, Dewangga betulan berniat tidur selepas mandi. Aku masih sibuk membersihkan sisa make up dan menggerutu karena rambut yang susah diatur. Lalu Dewangga berinisiatif membantuku.

Brenda merancang gaunku dengan kancing—betul-betul kancing, bukan cuma hiasan dan sebenarnya resleting—yang ukurannya mini dan jumlahnya banyak di bagian punggung. Aku nggak mungkin melepasnya sendirian. Lalu di kamar itu hanya ada aku dan Dewangga. Jadi, dialah yang melepasnya.

Dia berdeham beberapa kali sejak memulai melakukan itu. Lalu ketika sampai di bagian terbawah—bagian pinggang—tangannya nggak mau beranjak. Justru dia berbisik pelan, "Kangen ya, Nin."

Dan kisah selanjutnya telah kita ketahui bersama.

Rencana balas dendamku berantakan, gagal total. Rayuan Dewangga yang nggak seberapa meruntuhkan pertahanan diriku yang ingin mengabaikannya sampai waktu yang tak ditentukan. Aku mengaku kalah, dan menyadari betapa aku telah luluh lantak di bawah kuasanya.

Napasnya masih terengah setelah lima kali—kalau aku nggak salah hitung—mengosongkan skrotumnya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi. Aku yang kurang tidur sejak kemarin rupanya masih bisa bertahan sampai sepagi ini lagi.

Kepalanya ambruk setelah memberiku senyuman maut yang kelewat manis. Dewangga berguling ke samping dengan tubuh lemas. Tubuhnya masih polos, dadanya naik turun, perutnya yang rata ikut kembang kempis.

"Aku tebak kamu bakalan buncit lho," selorohku. Dia Cuma terkekeh, lalu berbalik badan menghadapku.

"Masih sakit?"

"Menurut kamuuu?"

"Katanya sakitnya cuma sebentar."

Bullshit! Nyatanya aku masih ngerasain perih padahal sudah beberapa kali melakukannya hari ini.

"Kamu nggak nyaman ya, Nin?"

"Nggak nyaman?" Aku menarik selimut, menutupi dada yang terasa dingin kena udara AC, lalu menatapnya penuh tanya. "Nggak nyaman gimana? Masa sih kamu ngeraguin kenyamananku selama ini?"

Dewangga buru-buru menggeleng. "Kata dokter, kalo nyaman nggak akan ngerasa sakit lama karena badan udah menerima."

Bibirku menipis. Terserahlah. Mau aku buat serileks apa pun rasanya juga tetap ada nyeri-nyerinya. Namanya saja lubang yang awalnya tertutup rapat dilapisi selaput dara tiba-tiba ditembus dengan benda tumpul yang nggak kecil.

Lagi pula aku bisa orgasme meskipun nggak sebanyak Dewangga. Itu harusnya cukup menunjukkan bahwa aku nyaman dengannya.

"Nin?"

"Hem?"

"Kamu mikirin apa?"

Aku menggeleng, selalu merasa aneh setiap kali Dewangga bertanya apa yang aku pikirkan. "Capek banget tau, Mas. Aku butuh tidur cukup hari ini."

"Ya udah tidur."

"Jangan suka bangunin tiba-tiba."

Dewangga tergelak lagi. Dia bangkit dari ranjang, memungut celananya dan memakainya di depanku tanpa rasa malu. Aku menopang dagu dan menatapnya malas-malasan. Dia harusnya sadar kami masih pengantin baru. Rasa malunya harus disimpan meskipun sedikit.

"Ke kamar mandi dulu," katanya sambil menyingkap selimut yang menutupi tubuhku. "Atau mau mandi sekalian?"

"No, thanks. Tapi lain kali jangan gendong aku sembarangan ya." Aku melingkarkan tangan ke lehernya. "Aku malu telanjang di depan kamu."

Sweetest BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang