1.7 - Denial

202 109 459
                                    

Manusia itu memang tidak ada yang sempurna. Namun percayalah, bahwa yang terbaik itu ada.

-Perfect things-

Sahara ingin berteriak histeris jika mengingat kembali kejadian sore itu. Disaksikan sang gerimis, Lintang menyatakan perasaannya meski tidak begitu romantis, namun tetap terkesan manis.

Mengapa Lintang justru tiba-tiba mengajaknya berpacaran? Apa kepalanya baru saja terbentur aspal?

Sahara berguling-guling di atas kasur ke kanan dan ke kiri sembari menggumamkan kata yang sulit dimengerti. Binar yang baru saja datang bahkan sampai bingung dengan kelakuan absurd sahabatnya sedari tadi.

Padahal, Binar sengaja mampir malam-malam begini bukan untuk menyaksikan pertunjukan Sahara yang sedang berguling-guling seperti babi bertemu lumpur.

"Ra, lo masih waras, kan?" Binar mencoba memastikan.

Sahara menelentangkan tubuhnya dengan posisi kaki di atas bantal, sementara kepalanya dalam posisi terbalik hingga rambut panjangnya menjuntai di ujung kasur dan menyentuh lantai.

"Nar, menurut lo, mas Linlin cuma sekedar bercanda atau beneran ngungkapin perasaannya sih?"

"Kalo lo nanya sama gue, terus gue nanya ke siapa? Hideung?" celetuknya sembari menyebut nama kucing bahenol kesayangan Sahara.

Merasa terpanggil, Hideung yang sedang menjilat tubuhnya sendiri lantas mengeong ke arah Binar, meski pada akhirnya diabaikan.

Sahara menggembungkan kedua pipinya. Percuma saja bertanya pada Binar. Nenek lampir itu tidak akan mengerti.

Bohong besar jika Sahara bilang bahwa dirinya tidak merasa senang. Sahara justru kelewat senang hingga tak mampu mengekspresikan perasaannya.

Walaupun Lintang itu menyebalkan, namun laki-laki itu mempunyai sisi yang menyenangkan. Pemuda itu selalu punya cara tersendiri agar membuat Sahara selalu nyaman berada di dekatnya.

Namun ada beberapa hal yang Sahara khawatirkan jika perasaan ini tak mampu dia kendalikan.

"Apa sih yang bikin lo ragu sama Lintang?" Binar bertanya penuh penasaran.

"Gue cuma belum siap kalo suatu saat nanti, hati gue dipatahkan." Sahara beringsut duduk, tatapannya berubah sendu. "Bukannya saat kita jatuh, maka kita harus siap merasakan sakit?"

"Ya, emang. Cinta itu kan, soal pahit dan manis, Hara. Nggak mungkin lo cuma ngerasain manisnya doang, kan?"

"Selain itu, alesan apalagi yang bikin lo ragu?" Binar kembali bertanya.

Sahara menggigit bibirnya sebelum menjawab, "hng, gue belum tau banyak hal tentang masa lalu dia. Gue takut..."

Binar berdecak tak habis pikir. "Ra, semua orang pasti punya masa lalu. Masa lo nggak bisa maklumin hal itu? Itu nggak terlalu penting, Ra."

"Justru kelihatannya dia yang belum bisa menerima semua itu, Nar. Gue... takut kalo ternyata cuma jadi pelampiasan sementara. Lalu dibuang begitu aja pas dia nggak butuh gue lagi."

"Lo terlalu overthinking, Hara."

"Gue cuma nggak mau buru-buru ngambil keputusan, Nar."

"Kenapa nggak coba dijalanin dulu?"

"Justru kalo hubungan gue sama dia terlalu jauh, gue bakalan susah buat nerima segala kemungkinan terburuknya."

"Hara, setiap pilihan selalu punya risikonya masing-masing. Kalo lo denial terus sama perasaan lo sendiri, apa lo siap seandainya Lintang justru jatuh ke pelukan cewek lain?"

Perfect Things (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang