BOY 2 : 26. NOSTALGIA

89 5 0
                                    

***

“Tapi?” tanya Mang Udin, penasaran. Abay menatap Rasya sebentar, perempuan itu mengangguk, Abay menghembuskan nafas pelan, membasahi bibirnya, menatap Mang Udin.

“Tapi, Abay hilang ingatan, Mang.” Satu kalimat dari Abay, sukses membungkam mulut Mang Udin, laki-laki paruh baya itu menatap Rasya seolah meminta jawaban, perempuan itu mengangguk sebagai jawaban.

“Apa yang Abay katakan benar, Mang. Kakak, Rasya sendiri yang menangani Abay, Mang. Awalnya Rasya juga kaget, sekaligus gak percaya, tetapi semakin kesini Rasya semakin percaya kalau Abay memang benar, hilang ingatan.” Mang Udin, menganga tidak percaya, sulit di terima jika Abay masih hidup, buru-buru Mang Udin menetralkan ekspresinya.

“Sekarang, kamu tinggal dimana Bay?” tanya Mang Udin, menatap Abay. Dirinya merasa jika Mang Udin ini, mungkin cukup dekat dengannya di masalalu, laki-laki itu tersenyum.

“Sekarang Abay, tinggal sama papa, sama Aldi, sama Devan juga, Mang,” jelas Abay, Mang Udin mengangguk paham, tidak lama, makanan pesanan mereka sudah datang Abay serta Rasya mengucapkan terimakasih.

“Yaudah, sekarang kalian makan dulu
Mang Udin, mau ke depan dulu ya,” pamit Mang Udin, Abay dan Rasya pun mengangguk, kemudian Mang Udin pergi meninggalkan mereka berdua. Setelah Mang Udin pergi, Abay menatap Rasya dengan tatapan yang sulit di artikan.

“Sya, Mang Udin itu siapa?” tanya Abay, laki-laki itu sambil mengambil minuman miliknya, Rasya menoleh menatap Abay, perempuan itu tersenyum.

“Lo gak ingat sama Mang Udin?” tanya Rasya sambil, menyendok makanannya. Abay menggeleng sebagai jawaban, benar kan? Dirinya benar-benar, tidak tau siapa Mang Udin, tetapi satu hal yang pasti. Mang Udin, orang yang cukup baik, menurutnya.

“Mang Udin itu, banyak ngebantu lo, Bay. Mang Udin, orang yang baik, dan satu lagi yang harus lo tau, lo pernah kerja di sini, dari SMP,” jelas Rasya, Abay menganga tidak percaya, dirinya cukup kaget mengetahui fakta itu, dirinya pernah bekerja di sini? Pantas saja Mang Udin mengenalnya dengan sangat baik.

“Serius? Dulu gue pernah kerja di sini?” tanya Abay tidak percaya, Rasya bergumam sebagai jawaban, perempuan itu menatap Abay dengan tatapan yang sulit di artikan.

“Bay, lo mau ke suatu tempat gak? Tempat yang banyak nyimpan memori lo,” jelas Rasya, laki-laki itu menoleh menatap Rasya. Benarkah? Masih ada tempat yang menyimpan memorinya? Laki-laki itu mengangguk sebagai jawaban.

“Tentu,” jawabnya, setelahnya mereka makan sambil berbincang-bincang kecil. Setelah mereka sudah selesai makan, mereka membayarnya dan menemui Mang Udin, untuk berpamitan dan mengucapkan terimakasih. Setelahnya mereka keluar, menuju tempat yang Rasya maksud, tidak lama, hanya sekitar sepuluh menit di perjalanan, mereka telah tiba di depan sebuah rumah kayu tua. Rasya turun, begitupun dengan Abay.

Rasya melangkah lebih dulu, di belakangnya Abay mengikuti. Perempuan itu menatap rumah ini lamat-lamat, sudah lama ia tidak pernah kesini, semenjak Abay di nyatakan meninggal ia tidak pernah kesini lagi. Karena rumah ini kosong, dan Aldi tinggal bersama Firman, ayahnya Abay. Tidak banyak yang berubah, rumah ini masih sama, hanya saja sedikit tidak terurus karena tidak berpenghuni. Kemudian perempuan itu, melangkah dan membuka pintunya. Jangan heran, jika ia memilikinya, karena dulu laki-laki itu sendiri yang memberikannya.

Rasya melangkah masuk di ikuti oleh Abay di belakangnya, perempuan itu menatap rumah ini lamat-lamat, semuanya masih sama. Bahkan, tidak ada satu barang pun yang bergeser. Rasya menatap Abay yang memasang wajah kebingungan sedari tadi. Rasya mengerti itu, laki-laki itu pasti bingung, kenapa dirinya membawa laki-laki itu kesini, tergambar jelas dari wajahnya, perempuan itu tersenyum maklum, kemudian berdehem sebentar.

BOY 2 : Hiraeth (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang