Bagian lima

1.5K 182 10
                                    

"Kok belum tidur?" tanya Sunghoon berbisik kala tendanya dibuka perlahan oleh Ni-ki yang terkekeh melihatnya. Sunghoon segera keluar dari tendanya diam-diam. Seluruh siswa maupun panitia telah terlelap menyisakan kedua insan yang kini menyelinap ke dalam sekolah.

Tangan Ni-ki menggenggam erat jemari lentik milik Sunghoon. Keduanya berjalan dalam keheningan yang menyelimuti.

"Mau kemana, Nishi?" tanya Sunghoon bingung.

Sejujurnya Ni-ki juga tidak tau ingin membawa sang kekasih kemana, ia hanya ingin menghabiskan waktu dengan Sunghoon karena rasanya hari ini mereka tidak berbincang sama sekali karena terlalu sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Pendustaan.

Padahal setiap pas jam istirahat Ni-ki akan menyelinap ke ruang osis untuk sekedar mengingatkan sang dayita agar selalu makan.

Dahi Sunghoon mengernyit kala mereka memasuki perpustakaan. Btw gelap banget sekeliling, jujur saja Sunghoon takut, tapi karena ada Ni-ki yang terus menggenggam jemarinya tanpa sadar rasa takutnya perlahan menghilang.

"Kenapa ke perpus?"

Ni-ki hanya menggeleng pelan. "Pacaran."

Pipi Sunghoon bersemu, tangannya refleks memukul pelan lengan Ni-ki.

Sangat pelan malah, namun karena Ni-ki tau bagaimana reaksi Sunghoon, maka ia sengaja mengaduh sakit.

"Aww, sakit sayang."

Sesuai dugaan, Sunghoon menatapnya khawatir. "Maaf, maaf Nishi, aku gak sengaja, maaf. Mana yang sakit?"

Ni-ki mengusap pelan lengannya seolah menunjukkan lengan kanannya sangat sakit.

Sunghoon turut serta mengusap lengan atas Ni-ki dengan jari lembutnya. "A-aku harus apa biar gak sakit lagi?" tanyanya panik.

Ni-ki tersenyum lebar. "Cium," ujarnya, namun jari telunjuknya malah menunjuk ke arah bibirnya.

"Kok???"

"Ah lama," sentak Ni-ki kemudian mendorong pelan tubuh Sunghoon menubruk dinding di sebelah pintu perpustakaan. Tangannya menarik tengkuk Sunghoon dan mengecup lama bibir sang kekasih.

Hanya sekedar mengecup, tidak lebih karena Ni-ki masih waras.

Mata Ni-ki menatap lembut ke arah Sunghoon yang mengerjap bingung menatapnya.

"Kenapa cium..."

"Habis kakak kecil lucu banget." Ni-ki mencubit pelan pipi Sunghoon.

Kalau disuruh buat surat terbuka pengakuan kejujuran akan hal ini, Sunghoon sating banget sialan dari tadi. Nafasnya tak berhembus beraturan dan jantungnya tak berdetak sesuai tempo pada umumnya.

Sunghoon menarik pergelangan tangan Ni-ki dan meletakkan jemari sang kekasih di area jantungnya. "Detaknya cepat banget, kamu harus tanggung jawab," bisiknya.

Ni-ki terkekeh melihat keluguan itu. "Aku selalu tanggung jawab akan hal apapun dalam dirimu, Kak."

Kakinya melangkah menjauhi Sunghoon yang masih berusaha menetralkan detak jantungnya. Sejujurnya Ni-ki juga sengaja menjauh karena detak jantungnya terdengar begitu keras. Mereka berdua sama-sama salting.

Nih dua orang emang kalau dipikir-pikir suka salting gitu sih.

Tangan Ni-ki menarik salah-satu buku dijejeran lemari perpustakaan yang menjulang tinggi. Sedangkan Sunghoon, lelaki itu telah kembali kewarasannya dan mengikuti langkah Ni-ki di belakang. Ia takut, perpustakaan tampak menyeramkan ketika malam hari.

"Buku apa, Nishi?" tanya Sunghoon.

"Filsafat sayang."

Bibir Sunghoon merengut pelan. "Kenapa harus filsafat sih? Mending baca novel! Atau gak mentok-mentok baca buku Bahasa Indonesia aja!"

Ni-ki menggeleng heran. "Kenapa gak boleh filsafat?"

"Aneh! Gak jelas. Ribet banget, aku pusing sama materi itu," ujar Sunghoon kesal.

Ni-ki mengangguk setuju. "Iya sih. Kenapa harus berdasarkan logika? Padahal di dunia ini gak semuanya bisa diatas-dasarkan oleh logika, buktinya setiap cinta yang mengalir dari hati aku ke kamu gak bisa diuntai melalui kata-kata, gak bisa dideskripsikan secara lisan, dan gak bisa dijabarkan dengan logika."

"Brisik Riki jelek!"

Lelaki berusia 15 tahun itu tergelak melihat sang kakak kelas yang kentara banget menunjukkan rasa malunya. Sunghoon menghentakkan kakinya kesal karena terus-menerus digoda oleh Ni-ki.

Sunghoon mencubit pelan pinggang Ni-ki karena lelaki itu tak berhenti tertawa. "Tau ah, ayo balik tenda, udah jam 3! Nanti harus bangun jam 7!"

Ni-ki hanya mengangguk saja dan kembali meletakkan buku filsafat yang ia genggam tadi ke lemari buku. Tangannya menggandeng jemari Sunghoon dan keduanya keluar dari perpustakaan.

"Kak tau gak sih?"

"Apa?"

Ni-ki tersenyum jahil. "Biasa ya di jam 3 subuh gini banyak hantu yang berkeliaran nakutin orang."

Tubuh Sunghoon tersentak pelan. Ia meremat pelan tangan Ni-ki.

"Riki jangan gitu, aku takut."

Bukannya berhenti, Ni-ki malah makin semangat menjahili sang kakak manis.

"Dan yang paling parah ya Kak, hantu paling suka ngegangguin orang yang penakutan."

"Ni-ki udah ih!"

Manik Sunghoon udah berkaca-kaca, mungkin sedikit lagi ia akan menangis. Ni-ki jadi gak tega, ia segera memeluk Sunghoon dan menepuk-nepuk pelan kepala kakak kecilnya.

"Iya maaf, jangan nangis. Aku bercanda kakak, jangan nangis ya? Lagian kalau terjadi apa-apa sama kakak aku bakal mastiin aku akan jadi garis terdepan—yang meluk kamu. Kalau bisa aku bakal mastiin gak akan ada yang bakal nyakitin kamu."

Dibilang begitu, bukannya tidak menangis Sunghoon malah menangis deras.

Ia takut, tapi ia lebih terharu dengan ucapan Ni-ki tadi.

Dia merasa begitu dicintai.

Ni-ki gelagapan sendiri melihat Sunghoon yang menangis kenceng.

Ni-ki jadi capek.

Sunghoon makin gemes soalnya kalau nangis.

—————

kalau kalian maki karena baca bagian hantu pas malam, gapapa, aku ngetik bagian itu juga pas jam 12 malam.

double up😋

-rabu, 22 september 2021.

AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang