10| Sesi pemotretan

489 31 1
                                    

Traumaku terlalu dalam. Lukaku terlalu parah. Aku takut jika ada yang berani nekat masuk ke kehidupanku, dia akan terluka. Sebab aku meyakini sesuatu bahwa seseorang yang belum pulih dari lukanya; seseorang yang belum selesai dengan kesedihannya; seseorang yang belum bisa sembuh dari perasaan traumanya; ataupun seseorang yang masih selalu terjebak dalam ketakutan-ketakutannya hanya akan menebar pengaruh buruk bagi orang yang berusaha keras menemaninya sembuh.

•••

Tak terasa, waktu ujian sekolah akan segera dilaksanakan dalam satu bulan lagi. Pemadatan sudah mulai dilakukan. Tiga tahun tentu bukan waktu yang sebentar. Cerita sedih, bahagia, aneh, bahkan lucu sekalipun sudah kulewati bersama dengan Tim Bahagia. Mereka mengajarkanku arti hidup dan membuatku tersadar bahwa rezeki tak selalu berbentuk uang, mereka adalah salah satunya.

Hari ini ada pemotretan untuk foto ijazah. Semua murid kelasku dikumpulkan di ruangan yang sama karena kelas IPA-1 akan menjadi kelas pertama yang akan melakukan pemotretan.

"Rambut gue rapih nggak, Tha?"

"Selalu, Tam."

"Bibir gue keliatan pucet banget, sih. Minta lip tint punya lo dong, Tam," kata Araya.

Tamara mengambilnya dari balik saku seragam. "Agak cepetan, gue takut ketahuan." jeda beberapa saat, "Kir, tolong tutup dulu pintunya bentar dong, gue juga sekalian mau touch up."

"Ribet amat deh kalian," cibir Kira.

"Jangan gitu, Kir. Lo bilang kita ribet karena belum ngerasain aja senengnya ngerias diri," balas Araya.

Aku sebetulnya juga sama seperti Kira. Tak pernah merias diri seheboh Araya dan Tamara, bahkan kami tak pernah memakai lip tint atau perias bibir apapun sama sekali. Tapi paling tidak, kami sesekali masih seringkali pakai tabir surya sama seperti yang seringkali dilakukan oleh Lumi. Sebab di atas kemalasan dan ketidakmauan kami untuk merias diri, masih ada Dhara yang lebih menghindari printilan make up lebih parah dari kami. Bahkan bila dihadapkan dengan acara-acara penting, ia selalu memilih tampil tanpa riasan apapun di wajahnya. Sedangkan aku, Kira dan Lumi masih bisa diajak kerja sama.

"Eh, kata anak kelas sebelah fotografernya Kak Juna lho," ucap Dhara yang mengalihkan topik bahasan.

"Hah? Kak Juna?"

"Iya. Kok lo kayak kaget gitu?"

Aku diam sejenak. "Kamu tahu sendiri, dia aneh dan nyebelin. Aku kurang suka," jawabku jujur.

"Padahal dia ganteng sama nyejukin hati banget kalo lagi senyum," ucap Lumi sembari tersenyum penuh arti.

"Setuju!" seru Dhara dan Tamara secara bersamaan.

Pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Orang yang baru saja kami bicarakan muncul bersama satu orang perempuan di belakangnya. Seperti biasa, wajahnya berseri-seri. Senyumnya teduh sekali. Sekarang aku setuju dengan perkataan Lumi tadi.

"Anjir, itu Kak Lia, kan?" tanya Dhara pelan.

Araya dengan cepat menyahut, "Iya betul. Kok bisa ya? Bukannya yang jadi fotografer Kak Juna doang?"

"Bantu-bantu aja kali, atau disuruh mungkin." ucap Lumi sembari menatap ke arahku.

"Hai semuanya. Sebelumnya kenalin saya Lia Amelia. Saya datang ke sini karena dipanggil sama Pak Hazar buat bantu Juna dalam sesi foto kali ini, karena takutnya dia bakal kewalahan."

Kami semua mengangguk paham.

"Oh iya, kalian nanti bakal diarahin sama Kak Lia, karena tugas saya di bagian motret aja. Kalo gitu, saya siapin dulu alat-alatnya. Selebihnya saya serahin sama Lia." ucapnya, kemudian berlalu ke ruangan yang sudah dipersiapkan sedemikian rupa sebelumnya.

Surat Cinta untuk Diriku SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang