3] Tim Bahagia

1.3K 68 4
                                    

Berpegang erat pada kualitas,
sebab tak terlalu penting memikirkan kuantitas.
Bukan hanya perkara yang satu frekuensi,
tetapi juga yang bisa saling peduli dan mengerti.

***

"Sumpah ya gue nggak paham lagi, kenapa sih itu orang keras kepalanya bisa melebihi dari batu?!"

Kini, aku dan kelima temanku─sebut saja kami Tim Bahagia─sedang berada di rumah Tamara. Nama Tim Bahagia adalah nama yang muncul karena usulan Tamara. Katanya sih, biar jadi doa supaya bisa terus bahagia, meski memang itu terdengar mustahil sebab hidup di dunia kan, bukan hanya perkara bahagia saja. Namun kembali lagi, sematan itu muncul justru maksudnya mengarah kepada agar menjadi sebuah doa.

Oh iya, rumah Tamara sudah kami anggap sebagai basecamp. Tempatnya sederhana, luasnya juga tidak seberapa. Tetapi kehangatan di dalamnya tak biasa dianggap biasa-biasa saja. Hubungan Tamara dan mamanya sangat baik─tak seperti hubunganku dengan Ibu. Lupakan sejenak perihal itu.

"Mungkin karena dia cinta mati sama Ditha, Tam,"

"Dih, kalau emang beneran cinta nggak mungkin buat si Ditha dalam keadaan bahaya kali, Ray."

Yang baru saja membalas ucapan Araya adalah Lumi. Gadis paling tinggi di antara kami─si pemilik suara emas. Kalau belum tahu, dia seringkali menjadi perwakilan dalam lomba yang diadakan pihak sekolah dengan pihak luar. Sayangnya, dia jarang sekali mau menunjukkan diri kalau bukan karena dipaksa.

"Iya juga, sih. Tapi kan dia emang cinta sama si Ditha,"

"Heh mata empat! Tolong bedain mana cinta, mana obsesi. Kalau menurut Lumi sih, si Galuh mah cuma obsesi aja," debat Lumi.

Araya mencebik kesal. "Nama gue tuh Araya Megantari, bukan mata empat Lumi." protesnya tak terima.

Kami semua tertawa. Walau sebetulnya, perasaanku berubah tak karuan. Sebab setiapkali dihadapkan pada keadaan membicarakan tentangnya, semua ingatan buruk itu kembali menghampiriku. Membahas tentangnya sama saja dengan mendatangkan luka dengan sengaja. Tetapi aku tahu, mereka membahasnya kali ini tujuannya tidak mungkin seperti itu.

"Tha, pokoknya kalau lo tiba-tiba punya firasat nggak bener, langsung ngomong sama kita aja ya. Gue cuma takut si Galuh masih belum kapok buat gangguin lo," ucap Dhara yang baru saja menghabiskan satu box tiramissu dessert by Nazla kesukaannya.

"Setuju gue!" seru Tamara.

"Tadinya gue mau bikin dia babak belur biar kapok. Tapi bener kata si Ditha, takutnya jadi berkepanjangan karena itu masih di lingkungan sekolah kan...," jeda beberapa saat, "jadi...," ucapnya menggantung.

"Jadi apa?"

"Jadi gue putusin buat nyari dukun online aja,"

"Udah nemu dukunnya?" tanya Lumi.

"Udahlah. Kan gue harus gesit,"

"Siapa?"

"Gus Samsudin."

"HAHAHA!"

Kompak teman-temanku tertawa keras. Sedangkan aku hanya terkekeh pelan. Kira Amalya─si cewek tomboi itu memang tak pernah kehabisan bahan bercandaan.

"Tapi Tha, gue bangga banget sama lo yang sekarang. Lo udah bisa lawan dia dan nggak gampang luluh sama ucapan manisnya kayak dulu. Pokoknya lo kalo ada apa-apa langsung bilang sama kita semua, ya. Maaf kita jadi bahas dia lagi," ucap Dhara.

Di antara kami semua, Dhara memang yang paling peka. Mungkin saja dia juga menyadari ketidaknyamananku saat membahas cowok itu sehingga ia tiba-tiba meminta maaf dan menutup pembahasan tentangnya.

Surat Cinta untuk Diriku SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang