25| Jangan mati di tangan sendiri

303 14 0
                                    

"Semelelahkan apapun hidup, tolong jangan mati di tangan sendiri, Tha."

•••

"Gimana keadaannya, Dok?"

Lelaki yang memakai kacamata itu sejenak menghela napas berat. Ia kemudian melirik ke Juna. "Saya perlu mengobrol dengan orang tuanya atau keluarganya. Apa Anda bagian dari keluarganya juga?"

"Iya, Dok. Beliau ini calon suaminya," sahut Dhara membuatku ingin memukulnya saat ini juga.

"Baiklah, boleh ikut saya sebentar? Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan." ucapnya seraya pergi keluar kamar.

Tak hanya Juna, Dhara pun ikut mengikuti mereka.

Setelah beberapa menit, Juna dan Dhara kembali. Tatapan mereka penuh kekhawatiran. Tak ada yang membuka suara sampai pada akhirnya Dhara pamit untuk membelikan bubur untukku bersama Alam.

"Dokternya langsung pulang?" tanyaku pada Juna yang tatapannya tak beralih sedikitpun dariku. "Kamu kenapa kayak orang yang lagi gelisah?"

Satu tangan Juna mengusap punggung tanganku, sedangkan yang lainnya mengusap puncak kepalaku. Entah mengapa, aku pun tak menolaknya karena rasanya tenang sekali.

"Aku nggak tahu serumit dan semelelahkan apa hidup kamu sampai berani ngambil keputusan buat menyerah, Ditha." Kepala Juna tertunduk, sedangkan tangannya masih menggenggam erat tanganku. "Cowok macam apa aku ini sampai nggak tahu kalau cewek yang dia sayang lagi menghadapi masalah beratnya sendirian."

Satu buliran air bening jatuh mengenai punggung tanganku. Juna menangis?

Setulus itukah perasaannya padaku sampai-sampai ia ikut bersedih atas keadaan buruk yang sedang kualami sekarang? 

Aku harus berbuat apa? Aku tak suka melihat orang lain bersedih karenaku. Tapi tunggu dulu, bagaimana jika tangisan Juna jatuh sebab ia hanya kasihan denganku?

Aku melepaskan genggamannya dengan kasar, lalu mendorong bahunya cukup keras. "Kamu lebih baik pergi!" bentakku tiba-tiba.

Juna mengernyitkan dahinya. Ia diam sejenak, kemudian menatapku dengan senyum teduhnya. "Ditha... kamu tenang," ucapnya lembut seraya mengusap punggung tanganku.

Ya Tuhan, bahkan saat aku menunjukkan sisi terburukku pun ia masih bisa sabar dalam menghadapiku? Mengapa orang sebaik dirinya harus bertemu orang yang mentalnya berantakan seperti diriku? Perlakuan baiknya justru membuatku semakin merasa tak pantas untuk ia cintai. Sebab apa yang bisa kuberikan padanya selain rasa sakit? Aku hanya akan menyusahkan hidupnya.

"Memangnya dari tadi aku kenapa sampai kamu nyuruh aku buat tenang? Pergi. Aku nggak suka dipandang karena kasihan sama siapapun."

Juna diam tak merespons amarahku sama sekali.

Apa aku sudah berlebihan? Sungguh, aku benci sekali dengan isi kepalaku sendiri yang selalu saja berprasangka buruk dan tak bisa dikendalikan.

Tiba-tiba saja aku merasa cemas tanpa alasan yang jelas. Dadaku terasa sesak sehingga napasku naik turun tidak karuan sampai aku tak bisa mengendalikan diri dan berteriak kencang sekali. Rasanya aku ingin melemparkan semua barang yang ada di hadapanku termasuk menyingkirkan Juna yang sedang menatapku penuh kekhawatiran. Aku sungguh bingung dengan keadaanku jika sedang seperti ini. Perubahannya selalu terjadi tiba-tiba dan terkadang berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Amarahku yang meledak-ledak ini mendadak tak bisa dikendalikan. Rasanya sakit sekali, tapi sampai saat ini aku tak pernah tahu apa yang sebenarnya harus kusembuhkan sebab aku pun tak tahu lukanya ada di bagian mana.

Surat Cinta untuk Diriku SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang