7| Tragedi gudang sekolah

670 37 9
                                    

⚠️ Trigger warning ⚠️
Mengandung konten sensitif berupa kekerasan yang sama sekali nggak boleh ditiru.

***

Menyadari ego sendiri sebelum menyadarkan ego orang lain. Sebab sudah terlalu banyak yang berteriak lantang tentang ingin didengar, tetapi mereka sendiri masih tutup telinga tak mau saling mendengar.

***

"Lo beneran jadi bantuin gue buat kerjain tugas susulan lagi, kan?" tanya Alam entah ke berapa kali.

Aku yang masih sibuk memasukkan buku ke dalam tas sejenak menatapnya sekilas. "Iya."

"Kok kayak nggak ikhlas gitu jawabnya? Singkat bener. Lo beneran mau nggak, sih?"

"Iya, Alaaam...,"

"Iya apa? Iya nggak ikhlas atau iya mau?"

Kira berdecak, ia pun akhirnya ikut menyahut. "Nanya mulu beli kagak!"

Aku tertawa ringan mendengar ucapannya, begitupun dengan Alam. Cowok berambut gondrong yang selalu bebas dari hukuman itu kemudian menggaruk tengkuk kepalanya. "Ya maaf... gue trauma soalnya─"

"Hahaha... lagak lo trauma. Yang ada juga lo yang sering bikin trauma anak orang!"

Alam tiba-tiba bergidik ngeri. "Duduk di depan emang selalu seserem ini ya, Tha? Masa gue barusan denger orang ngomong, tapi nggak lihat orangnya sama sekali."

"Sialan lo!" seru Kira seraya memukul lengannya hingga Alam mengaduh kesakitan. "Tha, gue duluan ya. Capek gue kalo lama-lama ngomong sama orang yang model rambutnya kayak sapu injuk gitu."

Aku tak kuat menahan tawa. Alam yang tak terima langsung menyentuh rambutnya yang gondrong itu, lalu ia menatap Kira dengan sinis. Sedangkan Kira sudah buru-buru berjalan keluar kelas─meninggalkanku dan Alam berduaan karena yang lain pun sudah pulang duluan.

"Alam gue ingetin ya, jangan sampai si Ditha kenapa-napa. Besok kalo gue lihat si Ditha punya satu goresan pun di lengannya atau dimanapun, lo bakal tahu akibatnya!" teriak Kira dari ambang pintu.

"BAWEL LO!!"

Aku hanya menggelengkan kepala. Teman-temanku belakangan ini benar-benar bisa dibilang sedang over protective. Tapi meski begitu, aku bersyukur bisa kenal dengan mereka. Karena hanya dengan mereka, aku bisa benar-benar merasakan kasih sayang yang sesungguhnya. Hanya dengan mereka pula, aku benar-benar merasa dipedulikan; ceritaku didengarkan; keluhanku tak diremehkan; kesalahanku tak dihakimi habis-habisan; dan impian-impianku seringkali didukung penuh.

"Tha, gue mau ke toilet dulu bentar. Lo jangan kemana-mana dulu, ya. Atau biar aman lo ikut─"

"Apa sih kayak sama bocil aja," protesku.

"Ya kan, jaga-jaga. Mana temen-temen lo galak semua lagi. Ntar kalo ada apa-apa sama lo gue bisa dikuliti sama mereka."

"Lebay! Udah buruan sana, aku tunggu di sini."

Sepeninggalan Alam, aku hanya memainkan ponsel. Jika sedang bosan seperti ini─opsi terakhir yang sering kulakukan tak jauh dari scrolling di Instagram. Itung-itung menyegarkan pikiran dari hiruk-pikuk kehidupan.

Tok! Tok! Tok!

"Permisi,"

Aku langsung menatap ke arah pintu kelas. Seorang gadis berambut bob sebahu itu menghampiriku. "Kak Ditha, ya? Ada yang nyariin di kantin. Katanya disuruh ke sana sekarang."

"Siapa?"

"Nggak tau, Kak. Nanti Kak Ditha samperin aja ke kantin kalau mau tau. Aku pamit permisi, Kak," ucapnya, kemudian berlalu pergi.

Surat Cinta untuk Diriku SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang