4] Apa itu rumah?

1.1K 63 8
                                    

Jika kehangatan sebuah rumah dijadikan alasan tempat pulang bagi setiap insan,
maka bangunan mana yang mesti kutuju agar tak merasakan sendirian?

***

Di pijakan anak tangga pertama menuju kamar, aku tiba-tiba saja merasakan sesak yang begitu besar. Bila kuingat-ingat lagi, semenjak memutuskan tinggal di rumah ini, aku rasanya tak pernah mendapatkan sapaan hangat ataupun ucapan selamat datang saat aku akhirnya pulang. Jangankan ke hal itu, sesederhana ditanya "Kenapa belum pulang?" saja aku belum pernah.

Tak pernah kudapati pula kesempatan untuk melakukan obrolan sederhana di meja makan ataupun di ruang keluarga. Mereka terlalu sibuk untuk aku yang tak punya banyak kegiatan. Terkadang pagi-pagi buta Ibu sudah harus berangkat kerja, kemudian pulang selalu saja larut malam. Hingga tak ada satu haripun yang kulewati tanpa pernah merasa kesepian.

Pulang bagiku ternyata hanya karena sebuah kewajiban─bukan atas dasar kemauan. Bagian paling menyedihkannya sekarang adalah aku sadar bahwa tak ada satu orangpun yang menungguku pulang.

Aku kembali teringat akan kejadian tujuh tahun lalu saat aku masih berumur tiga belas tahun. Kala pertama kali kudengar Ibu dan Ayah memutuskan untuk berpisah.

"Kamu tuh jadi orang jangan egois dong!"

"Kamu yang egois!"

"Aku kamu bilang? Aku egois? Sekarang aku tanya ya Mas, apa kamu pernah sekali aja dengerin isi hatiku? Aku itu capek selalu dibanding-bandingkan dan dituntut ini itu sama Mama kamu."

"Dibanding-bandingkan apa, sih? Udah deh kamu tuh jangan memperbesar masalah yang sebenarnya cuman sepele. Kamu nggak lihat apa? Aku tuh udah cape kerja seharian, terus pulang selalu disuguhin sama kamu yang suka ngeluh ini itu. Di kantor juga aku lagi banyak masalah, jangan-"

"Kan. Apa aku bilang? Kamu tuh nggak bakal ngerti dan nggak pernah mau dengerin isi hati aku, Mas. Ujung-ujungnya apa? Kamu adu nasib dan selalu nganggap sepele perasaan aku."

"Yaudah, sekarang coba kamu bilang, emangnya Mama ngapain kamu? Pasti nggak jauh-jauh nyuruh kamu buat belajar masak. Udah itu aja, kan? Kamu tuh nggak usah dibiasain ngeribetin segala hal deh. Kamu tuh udah hidup enak tinggal nerima uang nggak perlu kerja, kan?"

"Gila ya, Mas. Seenggak berharga itu aku di mata kamu?"

Ibu terlihat meneteskan air mata. Aku masih setia mengintip dan menguping dari balik pintu yang sedikit terbuka.

"Mas, aku tuh di rumah bukan cuman diem doang. Pagi-pagi buta aku udah harus pergi belanja ke pasar sendirian. Kamu mana pernah mau nganter, kan? Udah gitu, yang nyetrika, nyuci baju, bersih-bersih rumah, sama nyiapin kebutuhan Ditha buat sekolah aku juga harus lakuin sendirian. Kamu pikir aku robot? Kamu pikir aku nggak pernah capek? Terus cuman karena aku nggak bisa masak, Mama dengan mudahnya ngejelek-jelekkin aku di depan teman-temannya. Bilang aku jadi menantu nggak ada gunanya sama sekali. Kamu pikir itu enak?"

"Sekali aja, Mas. Sekali aja kamu ngertiin aku. Jangan terus-terusan Mama kamu yang dibela dan dingertiin."

"Eh, aku selalu ngertiin kamu ya. Kamunya aja yang nggak pernah bisa ngerasain semua itu."

"Gila kamu, Mas. Kamu ngertiin aku di bagian mananya? Kapan? Bahkan sekarang aja aku bilang gini sama kamu, kamu masih aja tetep bela diri dengan bilang udah selalu ngertiin aku. Sebenarnya aku ini masih kamu anggap sebagai istri nggak, sih?"

"Sadar nggak, sih? Yang kamu diributin dan permasalahin juga cuman masalah sepele yang itu-itu lagi."

Ibu tak lagi menjawab. Air matanya kini kian mengalir deras. Andai ada cara paling mudah untuk bilang ke mereka agar tidak terus-menerus bertengkar karena aku juga lelah saat harus mendengar keributan ini hampir setiap hari terjadi. Namun apalah daya? Nanti aku dibilangnya terlalu ikut campur urusan orang dewasa dan takkan paham dengan permasalahannya. Padahal masalahnya sekarang adalah aku pun sebagai anak yang selalu mereka anggap masih kecil─pasti selalu ikut kena imbasnya dari setiap pertengkaran mereka itu.

Surat Cinta untuk Diriku SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang