6| Bagaimana jika?

826 44 4
                                    


Kau ini siapa?
Datang tanpa pernah sekalipun kuundang.
Memberi tawa tanpa pernah sekalipun kuminta.
Apakah boleh aku curiga?

Bagaimana jika hadirmu ternyata hanya bertujuan untuk membuatku kembali terluka?
Bagaimana jika kata-kata bahagia yang acapkali kau ucap itu tujuannya tak lebih dari sekadar bahan bercandaan saja?
Atau, bagaimana jika memang kau tak memiliki tujuan apa-apa selain membuatku bahagia?
Lalu, hal mana yang sepatutnya kupercaya?

Hei, bisakah kita hidup tanpa pertanyaan bagaimana jika yang selalu saja memenuhi ruang kepala?

***

“Tha, lo laper nggak? Gue pesen dessert box by Nazla, ya?”

Aku sejenak tertawa seraya menggelengkan kepala. “Dhar, kita lagi di kantin lho. Di sini juga banyak makanan, kenapa malah pesen yang jauh?”

“Ya karena yang ada di sini bukan yang aku mau. Gimana dong?”

Kebetulan, kali ini aku hanya istirahat berdua dengannya. Araya sedang melatih adik kelas yang tergabung dalam perlombaan paskibra yang akan diadakan bulan depan. Dia memang diberikan kepercayaan untuk hal itu. Sementara itu, Kira tak ada di sini karena dia ikut menemani Tamara berkeliaran entah kemana. Kemudian Lumi sedang tidak masuk sekolah karena sedang sakit.

“Dharaaa kalau harus nunggu yang sesuai sama apa yang kamu mau, kapan datangnya coba? Perut kita itu butuh asupan makanannya sekarang,” ucapku coba memberitahu.

“Gue sih bisa nunggu. Lo kalo mau pesen makan, pesen dulu aja,”

“Ih, kok gitu sih? Ayo bareng-bareng aja,”

“Yaudah, pesenin gue makanan yang kayak lo aja, ya. Gue ke toilet dulu bentar,”

“Terus aku-”

“Bentar doang kok,” potongnya kemudian berlalu pergi.

Senyumku seketika memudar saat Dhara pergi begitu saja tanpa menunggu persetujuanku terlebih dahulu.

“Neng Ditha mau pesen mi ayamnya ndak?

Aku tersentak kala pria berkepala tiga yang memiliki tompel di pelipis kanannya itu ada di hadapan wajahku. “Mang Iwon ngagetin aja ih,” aku mencebik kesal, “Aku pesen mi ayamnya dua aja ya, Mang,” lanjutku.

“Lho, kok dua sih kenapa nggak satu aja?”

“Buat-”

“Jawabannya satu, karena manusia itu susah untuk merasa cukup.” potongnya, kemudian berlalu pergi ke stand miliknya.

Tak ada pembelaan dariku karena memang percuma saja─Mang Iwon memang tipikal orang yang suka larut dalam persepsinya sendiri. Aku beranjak pergi memilih tempat duduk di bagian sudut belakang. Tempat favorit bagi orang-orang sepertiku sebab di bagian ini jarang sekali didatangi oleh kebanyakan murid. Walau terkesan terlalu mengasingkan diri, aku memang jauh lebih memilih tempat yang seperti ini daripada harus ikut bergabung dengan orang lain yang tak kukenali.

“Ah, capek juga ternyata hari ini,”

Aku langsung mengalihkan pandangan dari layar ponsel ke samping kiri. Lelaki yang mengenakan kemeja polos berwarna navy duduk santai menatapku dengan wajah berseri dan senyum khasnya itu. Di satu sisi, aku ingin memakinya karena sudah duduk tanpa seizinku. Tetapi di sisi lain, senyumnya seolah membuat amarahku lenyap begitu saja.

Surat Cinta untuk Diriku SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang