22| Maaf, aku nyakitin diriku lagi

497 16 5
                                    

⚠️ Trigger warning ⚠️
Mengandung konten sensitif berupa kekerasan yang sama sekali nggak boleh ditiru.

***

Untuk diriku sendiri, aku sungguh minta maaf.

Maaf karena lagi-lagi aku menyakitimu. Maaf karena aku melukai lenganmu. Maaf karena aku seringkali memukul dadamu saat sedang merasa sesak. Maaf karena aku seringkali membenturkan kepalamu sampai terasa nanar. Maaf karena tangisku membuat matamu menjadi sembap. Maaf karena riuhnya isi kepala membuatmu tidak bisa tidur dengan lelap. Maaf untuk semua keegoisanku. Maaf karena kepayahan ku dalam melawan diri sendiri dan memilih menyakiti diri sebagai bentuk dari pelampiasan dengan alasan mencari ketenangan.

***

Hari kedua selepas kehilangan nenek. Aku masih sering menangis; tidak nafsu makan; tidak bisa tidur; tidak mau diajak mengobrol oleh siapapun. Aku masih menyangkal kenyataan bahwa kepergian nenek tidaklah kekal. Ia pasti akan kembali lagi suatu hari nanti.

Langit sudah kembali berubah warna. Sudah terhitung dua hari dua malam aku melewatkan makan. Yang kulakukan hanya menangis, menyangkal kenyataan, atau bahkan marah dengan keadaan. Padahal besok, ujian akan dilaksanakan. Aku harusnya tidur yang cukup, makan yang cukup. Tapi entah kenapa, aku kehilangan semangat untuk melakukan apa-apa.

Aku terus memukuli dada yang kembali terasa sesak sejak tadi. Napasku terengah-engah. Rasanya sungguh menyakitkan sekaligus melelahkan. Kedua tanganku bergemetar hebat. Tangisku berubah histeris.

Sebenarnya aku ini sakit apa? Kenapa aku seringkali merasakan cemas yang sehebat ini? Kenapa aku seringkali merasakan sesak yang sesakit ini? Rasanya takut sekali; takut untuk membuka mata; takut untuk mendengarkan suara; aku takut terhadap apapun yang ada di sekitarku sekarang.

Aku bersembunyi di antara nakas dan ranjang. Aku memejamkan mata dan menutup kedua telingaku dengan tangan secara erat. "Ya, Tuhan... tolong aku. Tolong tenangkan hatiku...,"

"Ditha... semua ini pasti akan baik-baik saja."

"Tenang, Ditha, tenang...,"

Aku mencoba mengatur napas dengan harapan dapat mengurangi rasa sesak yang kurasakan. Namun sia-sia. Semakin aku berusaha untuk tenang, semakin aku merasakan cemas yang luar biasa. Tangisku berubah histeris. Aku membenturkan kepala ke dinding berulangkali. Maaf, kali ini aku harus ingkar janji.

Maaf... aku nyakitin diriku lagi.

Aku mengambil cutter dari laci nakas. Sayatan pertama; kedua; ketiga; dan seterusnya. Dengan tangis yang masih mengalir deras, aku masih belum bisa berhenti melakukan perbuatan tak terpuji ini. Namun, rasa sesak di dadaku mulai berkurang.

Untuk diriku sendiri, aku sungguh minta maaf.

Maaf karena lagi-lagi aku menyakitimu. Maaf karena aku melukai lenganmu. Maaf karena aku seringkali memukul dadamu saat sedang merasa sesak. Maaf karena aku seringkali membenturkan kepalamu sampai terasa nanar. Maaf karena tangisku membuat matamu menjadi sembap. Maaf karena riuhnya isi kepala membuatmu tidak bisa tidur dengan lelap. Maaf untuk semua keegoisanku. Maaf karena kepayahan ku dalam melawan diri sendiri dan memilih menyakiti diri sebagai bentuk dari pelampiasan dengan alasan mencari ketenangan.

Semoga besok, lusa, minggu depan, bulan depan, atau pada hari-hari berikutnya aku tidak melakukan hal ini lagi. Semoga ini jadi kali terakhirku dalam menyakiti diri sendiri. Semoga lukaku segera sembuh. Semoga perasaan tenang yang selalu kucari dapat segera kutemukan.

"Ditha! Apa yang lagi kamu lakuin?! Istighfar!"

Napasku memburu tatkala mendengar suara ibu yang memenuhi ruang kamarku. Ibu melempar cutter yang ada dalam genggaman tanganku ke sembarang arah. Tatapan ibu berubah penuh kekhawatiran saat melihat lengan kiriku yang sudah berlumuran darah.

Surat Cinta untuk Diriku SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang