16| Pantai Parangtritis dan senja yang romantis

416 18 5
                                    

Ada yang lebih terdengar berdebur keras dari ombak di lautan, detak jantungku yang terus kau ombang-ambingkan.
Ada yang terlihat lebih indah dari langit jingga di atas sana, lengkung senyummu yang merenggut paksa tatapku.

/Juna Pradirga/

***

"Lo punya hutang cerita sama kita, Tha!"

Entah berapa kali aku mendengar kalimat itu dilontarkan oleh teman-temanku. Kini kami sudah berada di pekarangan rumah nenek setelah menempuh waktu selama 20 menit dari Tugu Yogyakarta. Aku menghela napas panjang. "Iyaa, Tamara. Satu kali juga sebenarnya udah cukup, aku juga bisa denger kok."

Tamara tertawa pelan. "Habisnya lo masih tertutup banget sih, sama kita. Kalo gak ditanya pasti gak akan cerita-cerita."

"Udah dulu bahas itunya ah. Ayo!" ajakku seraya membuka pagar dari bahan kayu ini.

Tak banyak yang berubah dari rumah Nenek. Halaman rumahnya masih dipenuhi oleh berbagai tanaman hijau, terutama philodendron. Rumah berbahan bilik bamboo ini mempunyai luas yang tak seberapa bila dibandingkan dengan rumah yang kutempati di Jakarta─hanya memiliki tiga kamar yang berhadapan langsung dengan ruang tamu, kemudian dapur yang sejajar dengan kamar mandi.

Rumah Nenek mungkin memang sederhana dan tidak sekeren rumah-rumah di ibu kota, tetapi pada kenyataannya, sebesar apapun luas sebuah rumah takkan bisa menjamin nilai kenyamanannya akan besar pula. Sebab yang paling penting itu bukan tentang bangunannya, tetapi tentang bagaimana bisa kita menemukan perasaan 'berumah' saat tinggal di dalam bangunannya.

Ah, aku jadi teringat perkataan Nenek beberapa tahun lalu, Katanya, "Jogja itu rumah bagi orang-orang yang tidak bisa menemukan arti sebuah rumah. Maka jangan pernah bingung mencari tempat pulang kalau kamu sedang kehilangan arah, Nduk. Kembali ke sini, Nenek akan selalu menunggumu datang."

Aku terkadang merasa aneh, mengapa Nenek bisa jauh lebih mengerti perasaanku daripada ibu? Selama hidup, aku tak pernah dimarahi oleh Nenek bahkan saat melakukan kesalahan sekalipun. Yang ada, Nenek malah menasihatiku dengan wejangannya. Nenek selalu peka terhadap keadaanku. Dia selalu bertanya alasan kenapa aku bersedih atau menangis. Nenek akan menjadi orang pertama yang tahu kalau aku ada masalah hanya karena lebih banyak diam. Aku merasa tak kekurangan apapun bila ada di dekat Nenek. Momen lucunya, dulu kadang Nenek memberiku uang secara diam-diam untuk membeli sesuatu yang kuinginkan saat Ibu melarangku untuk membeli hal itu.

Sungguh. Aku sangat merindukannya. Selama perpindahan ke Jakarta, kami hanya berkomunikasi beberapa kali. Nenek pun tidak mempunyai handphone, makanya sangat sulit sekali untuk menghubunginya bila tidak lewat anak tetangga yang satu tahun belakangan juga sulit dihubungi. Entah ganti nomor atau apa. Aku pun tidak tahu pasti.

Aku mengetuk pintu pelan.

Tak berselang lama, pintu terbuka. Menampilkan seorang perempuan paruh baya yang memasang muka kaget. Namun, pada detik berikutnya senyum teduhnya terbit. Aku langsung berlari memeluknya dan air mataku seketika jatuh membasahi kedua pipi.

"Neeek, aku kangen banget!"

Nenek tertawa pelan. Ia mengusap puncak kepalaku. "Nenek juga kangen sama kamu, Ditha." Nenek melerai pelukan kemudian menangkup wajahku─menghapus jejak air mata yang membasahi kedua pipiku. "Cucu Nenek sekarang sudah besar, toh! Gimana keadaan kamu sekarang, Nduk? Di sana kamu sudah ndak pernah nangis malam-malam lagi, kan?"

Tangisku kembali luruh saat mendengar kalimatnya barusan. Aku sungguh ingin menjawab, "Nggak, Nek. Aku nggak pernah baik-baik aja." Namun, aku malah menjawab, "Keadaanku baik, Nek. Aku juga udah nggak secengeng dulu lagi."

Surat Cinta untuk Diriku SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang