6. Perfect

583 127 30
                                    

Pertemuan terakhir dengan Dewangga membuat Jingga kembali merasa sedih dan kesal. Ia jadi lebih banyak melamun daripada sebelumnya. Hal yang membuat Pinggala dan Hazel terutama sedih.

"Dek, besok Minggu nih. Jalan-jalan, yuk?" ajak Hazel.

Ia sengaja ke kamar adiknya sebelum tidur dan seperti biasa, dalam beberapa hari terakhir ini, Jingga tampak kesulitan untuk tidur.

Tanpa menoleh, masih berbaring sambil memeluk guling, Jingga berkata, "Pergi aja sama Mbak Ping. Aku nggak minat."

"Hey ... "

Terasa pinggiran kasur bergerak dan melesak ke dalam akibat berat badan Hazel.

"Sudah lama nih kita nggak mingguan bareng," bujuk Hazel.

Jingga hanya menoleh sekilas lalu kembali memunggungi. "Mas Hazel lebih butuh tidur, istirahat dan liburan daripada aku. Sadar diri sama kantong matanya. Lucu aja sih kadang masih ada yang mikir tentara nggak ada kerjaannya selain santai atau bersihin batalyon."

Hazel tak bisa menahan gelak tawanya mendengar hal itu. Kalau boleh jujur, ia memang sangat lelah dan butuh banyak istirahat karena kegiatan yang tengah padat. Ia mengusap kepala adiknya lembut dan penuh kasih. Pemikiran orang-orang sekarang memang unik, kalau tentara angkat senjata katanya kejam tapi kalau sejenak melepas lelah dikatai santai dan merugikan negara karena sudah menggaji buta seseorang. Mereka lupa bahwa tentara pun manusia, bukan robot.

"Ya sudah, istirahat ya. Nggak usah mikir apa-apa. Otakmu juga butuh istirahat. Hatimu juga." Setelah itu, Hazel meninggalkan kamar adiknya.

Masih di posisi yang sama, Jingga menghela napas dalam. Ya, ia tahu kalau kepala dan hatinya butuh istirahat atau ia akan tumbang.

Yang paling menyakitkan adalah tak adanya usaha Dewangga untuk meminta maaf secara tulus kepadanya. Sedikitpun. Lelaki itu sepertinya masih merasa tak ada yang salah dengan semuanya. Baginya seolah hanya sekedar jalan kehidupan.

Mungkin Tuhan masih berbaik hati padanya dengan menunjukkan semua. Tidak semua yang tampak baik pasti sebaik itu. Juga kenyataan bahwa manusia gudangnya syarat.

"Harusnya aku nggak usah ketemu lagi, bikin badmood aja!" geram Jingga menyesali diri. Ia tahu tak ada gunanya meratapi nasi yang terlanjur menjadi bubur. Seperti kata banyak orang, lebih baik menambahkan telur dadar diiris memanjang tipis, kacang tanah goreng dan bawang merah dan disiram kuah opor mungkin?

Sungguh semua terasa lucu sekali bagi Jingga. Ia paham jika setiap orang pasti ingin yang terbaik tapi bukan dengan cara menyakiti orang lain kan? Apa sebegitunya kesempurnaan harus diraih dengan cara apapun? Padahal sejatinya kehidupan pernikahan bukanlah ajang pamer melainkan penyempurna ibadah. Jika yang dicari kesetaraan demi derajat yang sama di mata manusia, tak ubahnya seperti pernikahan politik atau bisnis belaka. Bukan atas dasar cinta apalagi iman. Bahkan ta'aruf pun ada prosesnya.

"Memang brengsek! Dasar plin plan!" Rasa hati ingin Jingga berteriak sekeras mungkin, apalah daya ia ingat sedang tinggal di mana. Bisa- bisa orang sebatalyon datang jika ia berteriak sekencang mungkin dikira kesurupan.

"Dek, kamu kenapa?" terdengar ketukan bersahutan dan dua suara berbeda yang terdengar khawatir. Hazel dan Pinggala.

Tubuh Jingga membeku seketika. Sepertinya ia memekik dan tak menyadarinya.

"Nggak apa!"

"Yakin?"

"Iya!"

"Tidur deh biar enakan," saran Hazel.

"Iya," sahut Jingga.

Tak terdengar suara lagi, sepertinya Hazel dan istrinya sudah kembali ke kamar. Kini giliran Jingga menghela napas berat. Baru kali ini ia sampai membuat khawatir Hazel.

🌹🌹🌹

"Hei, saya paham sih kalau Mbak Jingga kangen saya, tapi nggak usah cemberut gitu dong? Kayak bebek tau!" goda Lazuli yang esoknya menghubungi Jingga.

"Matiin nih!" ancam Jingga. Sedikit rasa menyesal kala menerima panggilan tanpa melihat siapa.

Ia duduk selonjor sendirian di ruang tamu sambil makan keripik tempe sementara Pinggala sedang ada giat Persit.

"Ngancem!" gerutu Lazuli.

"Daripada ganggu orang mending kerja sana!" usir Jingga sedikit meninggikan suara.

"Ya Allah, Mbak, saya kan juga butuh istirahat. Daripada Mbak Jingga manyun gitu, kenapa nggak ke sini bantuin saya aja?" kata Lazuli dengan senyum lebar.

Jingga spontan menyipitkan kedua matanya, menatap lawan bicara setajam elang.

"Ih, atut."

"Lebay! Nggilani Yek!"

Seketika terdengar tawa lepas di seberang yang membuat Jingga segera menjauhkan ponselnya. Ia memutar kedua bola matanya, sedikit merasa lelah karena sepertinya setiap berbicara dengan Lazuli selalu menguras tenaganya.

"Mbak, hei, Mbak Jingga! Lah, piye cowok ganteng dicuekin. Woy!" seru Lazuli meminta perhatian lalu tak lama terjadi keheningan.

Jingga yang betul-betul menjauhkan ponsel dari wajahnya, kini mengintip untuk mencari tahu apa yang terjadi sebab ia mengira bahwa lelaki itu sudah memutus sambungannya. Yang terjadi justru sebaliknya, lelaki itu malah menatap intens sambil makan siang.

"Makan siang dulu yuk, Mbak," tawar Lazuli dengan baik hati.

Melihat hal itu, membuat Jingga kembali menghela napas. "Sudah, makasih."

Lazuli tersenyum tulus, "Mbak butuh refreshing itu. Lagi banyak pikiran ya? Kenapa lagi?"

"Lagi nggak pengen," sahut Jingga lirih.

"Hei, kamu itu nggak tentang kamu aja, Mbak. Jangan bebani ragamu lebih dari kesanggupannya meski kamu mengira semua baik-baik saja," nasehat Lazuli sabar. "Mikirin apaan sih? Atau siapa? Dewangga?"

Keterdiaman Jingga membuat Lazuli ganti menghela napasnya. Mendengar nama Dewangga disebut membuatnya membeku seketika. Rasa tak nyaman masih menyeruak.

"Kenapa lagi sama dia? Sudahlah, hal yang menguras hati nggak usah dipikirin. Mending mikirin saya yang ganteng ini. Ya?" tambah Lazuli sambil menaik-turunkan kedua alisnya tak lama seseorang memukul kepalanya dari samping. "Aduh!"

Kejadian spontan itu membuat Jingga tertawa seketika.

"Mbak, saya senang Mbak Jingga tertawa tapi mbok ya jangan karena senang saya menderita toh?" keluh Lazuli.

Rekan yang tadi memukul kepalanya ganti yang tertawa. "Lah, kowe aneh-aneh wae. Ganteng dari mana?"

Lazuli menoleh, tak terima. "Lho, moso sampeyan nggak tau?"

Dan berakhir kedua rekanan itu ribut sendiri dengan Jingga sebagai penonton.

"Wes, wes, wes, pokoknya aku ganteng. Titik nggak pakai koma," ujarnya di akhir perdebatan lalu kembali menatap ponselnya dan nyengir.

"Kepedean," dengkus Jingga.

"Daripada minder, iya nggak?" Lazuli tak mau kalah. "Wes toh lupain. Daripada kamunya menyiksa diri. Eh, teori sih gampang ya," lanjutnya lalu tertawa. "Ya intinya ingat dirimu sendiri. Belum tentu dianya mikirin kamu toh?"

"Hem."

Hanya itu tanggapan Jingga tetapi ia membenarkan semua omongan Lazuli. Jika Dewangga memikirkannya, peduli padanya pasti kejadiannya akan berbeda terlepas dari yang namanya takdir. Hanya saja, ia tidak suka berandai-andai karena sudah terjadi dan kenyataannya tidak sesuai ekspektasinya.

Tuhan masih menyayanginya dengan menunjukkan semuanya sebelum terlanjur. Tak akan ada kebahagiaan berada di tengah-tengah orang yang selalu merasa diri lebih dibandingkan orang lain. Bukankah jodoh cerminan diri?

🌹🌹🌹

Assalamu'alaikum semua,

Akhirnya, setelah sibuk bantuin pesanan plus insomnia tapi malah nggak bisa nulis ...

Masih ada yang nungguin?

Sidoarjo, 08-10-2021

Langit Jingga (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang