Feels Like Cinderella

390 43 8
                                    

Cindy Gantari, mahasiswi semester empat salah satu universitas di Surabaya sangat sering mendatangi culture festival yang diadakan oleh lembaga kursus bahasa asing Rainbow. Ia juga sering berdiam di perpustakaannya dengan menjadi anggota di sana karena hanya itu yang mampu dilakukannya agar bisa belajar dan mendapat hiburan. Sedangkan jika harus kurus bahasa di situ, ia belum mampu. Bisa kuliah melalui jalur siswa tak mampu saja ia sangat bersyukur.

Seperti hari ini, Sabtu, sedari pagi Rainbow sudah ramai karena ada culture festival yang merupakan agenda bulanan di minggu pertama. Hari ini mengusung budaya Perancis.

“Bonjour, aku yakin kamu pasti ada di sini, (Selamat pagi)” sapa seseorang dengan suara maskulin tapi empuk yang akrab di telinga Cindy. Ayas Benzema.

Cindy yang asyik di salah satu sudut perpustakaan sambil baca buku mendongak. “Bonjour, Ayas,” sapanya balik.

Sejak awal semester dua, ia akrab dengan lelaki warga negara Inggris tersebut. Tidak hanya itu, terkadang Cindy kerja paruh waktu di apartemen Ayas, bersih-bersih dan masak jika ART yang biasanya datang per tiga hari yang disewanya berhalangan hadir.

“Di luar ramai, dan kamu sembunyi di sini?” tanya Ayas lalu duduk di sebelahnya.

“Sudah lihat semua tadi,” jawab Cindy. Bersama Ayas, jika berbicara mau tak mau ia harus menatap tepat ke mata lawan bicaranya padahal biasanya ia malu dan sering menunduk. Terutama jika pada lawan jenis.

Ayas, lelaki berambut hitam dengan sedikit brewokan di mana wajah dan posturnya bagai lelaki yang keluar dari platform menulis itu melirik arlojinya. “Kamu sudah makan?”

Cindy menggeleng. “Belum. Aku bawa bekal kok.” Tentu ia ngirit sekalipun harga makanan yang ada di kafe masih terjangkau kantong tapi ia takut lupa diri. Ia cukup puas dengan mencicipi kuliner Perancis yang memang dibagikan gratis untuk semua tamu.

“Come on, kita shalat dulu sebelum makin penuh setelah itu makan. Aku traktir,” ajak Ayas. “Aku mau ngomong sesuatu.”

Ya, Ayas sebaik itu memang. Bahkan suka memberi honor yang sedikit lebih banyak dari perjanjian awal.
“D’accord. (Baiklah)” Terpaksa Cindy mengiyakan. Ia berdiri dan mengembalikan buku yang dibacanya lalu mengikuti Ayas meninggalkan perpustakaan.

Benar saja, musala Rainbow sudah setengah penuh. Segera Cindy mengambil wudu dan salat sebelum tidak kebagian tempat. Usai salat, bersama Ayas, keduanya menuju kafe yang juga penuh. Harus jeli melihat hingga akhirnya mendapatkan tempat kosong.

“Kamu mau makan apa?” tanya Ayas.

“Udon and lemon tea, please.” Bersama Ayas tak ada kata terserah. Harus menyebutkan secara spesifik apa yang diinginkannya.

“Okay. Kamu tunggu di sini.” Ayas pun segera meninggalkannya menuju counter pemesanan.

Sementara itu, sembari menunggu, Cindy kembali membuka tasnya dan mengambil buku yang dibacanya tadi juga bekal roti isi selai strawberry dua tangkup.  Di saat seperti ini, jika nanti tiba-tiba ada yang minta bergabung adalah hal yang tak aneh lagi karena kekurangan tempat.

Di setiap culture festival, tamu yang datang tak hanya siswa, teman dan keluarganya saja melainkan semua orang termasuk para warga negara asing. Tentu akan lebih didominasi oleh mereka yang budayanya tengah digelar. Seperti kali ini, dengungan percakapan berbahasa Perancis terdengar di mana-mana.

Ayas sendiri menguasai empat bahasa di antaranya Arab yang menjadi bahasa ibunya, Inggris karena ia lahir dan besar di Inggris, Perancis dan Indonesia.

Tak berapa lama lelaki yang hari ini tampak santai dengan celana panjang jin biru dan polo shirt putih itu kembali. Penampilan yang tak pernah tercela seperti biasanya dan mampu membuat kaum hawa menoleh.

“Kamu liburan nanti mau ke mana?” tanya Ayas begitu ia duduk.

Cindy yang hendak menggigit rotinya berhenti. “Liburan? Like I have money aja. Kecuali kamu mau ngajakin sih?” candanya lalu menggigit rotinya.

“Mau ikut ke London? Sebelum kembali ke Indonesia, kita masih harus ke Paris seminggu kurang lebih,” ajak Ayas tanpa tedeng aling-aling.

Tentu saja Cindy merasa disambar petir dan menatap Ayas untuk mencari tahu apakah itu candaan semata. Sayang sekali, yang dilihatnya hanyalah ekspresi serius. Dan menunggu.

“You must be joking.” Cindy menggeleng tak percaya. Siapa dirinya tiba-tiba Ayas mengajaknya liburan ke Eropa? Mimpi yang ada. Sudah bagus sedari awal Ayas tak pernah mau dipanggil mister dan menempatkan diri sebagai teman daripada majikan.

“Do I look joking to you?” tanya Ayas balik.

“I don’t know,” jawab Cindy jujur. Ia mengangkat kedua bahunya.

“Aku tidak mengajak kamu liburan, tapi kerja. Aku harus pulang ke London karena ada yang harus diurus,” terang Ayas dengan bahasa Indonesia yang kaku. “Jam kerja kamu Senin sampai Jumat. Jika Sabtu aku minta kamu kerja, aku akan bayar tambah untuk hari itu. Lembur? Ya, aku kasih uang lembur.”

Cindy tak bisa menyembunyikan kekagetannya. Jantungnya berdebar kencang. “My English not good.” Bahkan bersama Ayas saja lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. “Lagian aku kerja apa?”
Ayas tersenyum. “No need to worry about. Kamu kerja biasa seperti di sini. Atau kita tanya orang tuamu?”

🏰🏰🏰

Kisah selanjutnya silahkan intip di lapak City Series.

Kisah selanjutnya silahkan intip di lapak City Series

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Sidoarjo 12-25 November 2021

Langit Jingga (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang