Jingga melempar tumbler sekuat mungkin ke dinding. Rasa sesak di dada sudah tak mampu dibendungnya lagi. Sudah sebulan menahan diri dari kekecewaan dan amarah berkobar yang dirasakannya. Keterdiaman Dewangga kekasihnya membuatnya frustrasi. Sungguh semua terasa omong kosong.
Hazel yang baru pulang dinas segera membuka pintu kamar adiknya dengan kasar, beruntung pintu tidak terkunci sehingga ia tak perlu mendobraknya. Masih mengenakan PDL lengkap, satu tangan memegang gagang pintu, dadanya naik turun penuh kekhawatiran melihat kondisi adiknya. Di belakangnya tampak Pinggala, istrinya yang tak kalah cemasnya.
"Kamu kenapa, Dek?" tanya Pinggala yang sudah menghambur ke pelukan Jingga yang membeku.
"Dewangga?" tebak Hazel.
Jingga bergeming. Seolah tuli.
"Dewangga kenapa?" tanya Pinggala lembut sambil mengelus kepala adik iparnya yang mulai sesenggukan itu. Ia merasa janggal jika pemuda itu melakukan hal buruk pada Jingga.
Dewangga yang Pinggala kenal adalah lelaki kalem dan sopan. Jadi apa? Kenapa Jingga sampai mengamuk? Apa ada yang terlewat olehnya?
"Kalau bersama dia kamu berat, nanti aku kenalin ke teman-teman atau junior," kata Hazel akhirnya sembari mendekati adiknya dan mengusap rambut pendek berpotongan Bob milik sang adik.
Jingga masih mengunci mulutnya rapat-rapat tetapi airmatanya semakin deras.
"Ya sudah, nangis saja kalau itu bikin kamu lega." Pinggala masih sabar memeluk Jingga.
Hazel sendiri kembali mengusap sayang kepala adiknya sebelum meninggalkan kamar untuk membersihkan diri. Tak ada gunanya memaksa Jingga buka suara saat ini. Sekitar setengah jam kemudian ketika ia sudah bersih dan Jingga sudah tenang, sambil membawa susu cokelat hangat.
"Kamu kenapa, hem?" tanya Hazel lembut meski dengan suara bariton yang tidak cocok. Ia letakkan gelas susu di atas meja rias kemudian duduk di pinggir ranjang.
"Aku mundur, toh selama ini ternyata hubungan kami nggak ada artinya buat Dewangga," desis Jingga di antara sesenggukannya.
Hazel mengerutkan keningnya bingung. "Kok kamu ngomong gitu? Nggak mungkin Dewangga macam-macam sama kamu. Kami kenal baik dan aku berani jamin dia orang baik."
Jingga yang tadinya membelakangi Hazel sambil memeluk erat gulingnya langsung bangkit dan melotot ke arah kakaknya. "Baik? Aku sekarang nggak paham arti kata baik itu seperti apa."
"Hei, sabar," Hazel mengusap kepala adiknya lembut. "Dewa ngapain memang?"
"Buat apa bersama kalau nggak ada masa depan buat kami? Aku ini cuma lulusan SMA, kita bukan keluarga kaya, aku nggak cukup baik untuk mendampingi Dewangga!" cetus Jingga sakit hati. Sangat sakit. Akibat jatuhnya ekonomi keluarga, tulang punggung berpindah ke pundak Hazel. Kakaknya itu langsung mengubur cita-citanya untuk kuliah dan banting setir mengabdi kepada negara sehingga bisa segera bekerja dan mendapatkan gaji bulanan. Beruntung sekali daftar bisa lolos. Allah memang masih melindungi keluarganya.
Jingga sendiri harus mengubur cita-citanya untuk kuliah tapi ia tak seberuntung kakaknya untuk bisa settle di satu pekerjaan.
Kedua bola mata Hazel melebar tak percaya. "Dapat omongan ngawur dari siapa kamu, Dek?" tuntutnya tak percaya.
"Aku dengar sendiri Dewa ngomong sama Ibunya," desis Jingga kecewa dan kembali air matanya luruh yang membuat Hazel langsung memeluknya.
Hazel masih sulit mempercayainya. Pasalnya Dewangga adalah juniornya di Dojo karate dan keduanya sangat akrab. Ia juga mengenal orang tua pemuda itu. Jika yang dikatakan adiknya benar, ia pun merasa kecewa karena yang memperkenalkan keduanya adalah dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Jingga (Slow Update)
Fiksi UmumJingga tak pernah menyukai senja seperti Dewangga menyukainya. Baginya senja meski indah tapi kehadirannya hanya sebentar dan berganti malam gelap, seperti hatinya yang merasakan keindahan sesaat kemudian menggelap hingga Langit datang. Mampukah Lan...