Sejak hari pernikahan sepupu mereka,Iris dan Ijas, beberapa bulan lalu, Jingga tak pernah lagi bertemu ataupun bertukar kabar dengan Langit. Namun, siang ini setelah bergelut dengan kesibukan di apotek karena cukup ramai, ia yang hendak bernapas sejenak dengan meminum air dari botol yang dibawanya dari rumah sambil cek ponsel siapa tahu ada pesan penting entah apa dikejutkan dengan sebuah status dari Langit.
Lelaki itu tipe yang jarang membuat status jika tidak ada sesuatu yang ia anggap penting atau menarik dan kali ini ia tengah mengunggah foto acara pertunangan Dewangga. Untuk sesaat tubuh Jingga membeku lalu mendengkus. Cepat atau lambat memang akan terjadi.
"Nggak apa-apa, biarkan saja. Nanti juga pasti dia menyesal. Segala sesuatu itu pasti ada balasannya sendiri." Jingga seketika teringat ucapan mamanya dulu ketika ia pulang dalam rangka pernikahan sepupunya, Iris, dan ia mempercayainya. Ucapan mamanya bisa dibilang selalu tepat terjadi meski entah kapan.
Jingga segera menutup ponselnya dan segera meminum airnya kemudian kembali ke toko di mana masih ramai pembeli hingga tak terasa sudah waktunya istirahat. Karena giliran, Jingga mendapatkan istirahat yang pertama bersama Gandaria.
Baru saja ia membuka kotak bekalnya, ada panggilan video masuk dari Lazuli.
"Assalamu'alaikum, hualooooo, cewek," sapa Lazuli dengan riangnya.
Mendengar sapaan itu, Jingga segera menjauhkan ponsel darinya sambil berkata, "Berisik!" lalu, "wa'alaikumussalam." Ia membalas dengan lebih kalem.
Lazuli tertawa. "Sedang apa?"
"Makan." Setelah itu Jingga mengambil kerupuk yang diberikan Gandaria untuknya dan menggigitnya.
"Uwidih, renyah kali Adek menggigit kerupuknya sampai terasa remuk redam begitu," komentar Lazuli masih jail.
"Kerupuk kalau nggak terdengar renyah artinya melempem atau habis disiram air, wahai Abang!" cetus Jingga kesal.
Di seberang kembali terdengar tawa renyah Lazuli, serenyah kerupuk yang dimakan oleh Jingga. "Senang, lho, tapi akunya, makan siang ada yang menemani."
"Lha, ngaramu aku iki opo? (Menurutmu aku ini apa)" terdengar celetukan protes yang sepertinya teman Lazuli.
Lazuli menoleh. "Tak pikir watu. (Kupikir batu)"
"Wooo, kampret!"
Segera saja ada tangan terjulur dari samping yang menoyor kepala Lazuli dan dibalas dengan tawa saja.
Melihat itu membuat Jingga berdecak. "Perasaan Mas Jade itu waras deh, kok adiknya modelan gini, ya? Aku harus heran nggak sih?"
"Kayaknya waktu bagi otak, dianya tidur, Mbak," ujar teman Lazuli.
Jingga mengangguk setuju.
"Kamu nggak apa-apa, Mbak?" Nada bicara Lazuli tiba-tiba berubah serius begitupun ekspresinya.
Jingga yang tengah menyendok nasi pun batal demi mendongak untuk menatap Lazuli. "Hah?"
"Ups!" seru Lazuli seperti teringat bahwa ia nyaris mengatakan hal yang tabu.
Sementara itu Jingga yang masih menunggu penjelasan lelaki di seberang itu perlahan memahami maksudnya. Ia pun mengangguk dan kembali menyendok nasinya seolah tidak terjadi apa-apa. "Nggak apa-apa kok," jawabnya santai, "alhamdulillah sudah ketemu jodohnya. Tinggal aku yang nyari jodoh terbaikku, kan? Alhamdulillah Allah kasih lihatnya sekarang, jadi aku terselamatkan dari hal yang buruk."
Mendengar penuturan Jingga, Lazuli tak lantas merespon. Ia hanya diam sambil makan dan memperhatikan ekspresi lawan bicaranya. Ia tahu bagaimana pun pasti Jingga tetap merasa sedih, kecewa atau tersakiti. Sebab, jika tidak merasa apa pun, tak mungkin dia sempat terpuruk beberapa waktu lalu. Ia pun kemudian tersenyum untuk menguatkan perempuan di depannya yang jaraknya jauh puluhan kilometer. "Pasti Mbak Jingga nanti dapat pengganti yang jauh lebih baik dan tulus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Jingga (Slow Update)
Ficción GeneralJingga tak pernah menyukai senja seperti Dewangga menyukainya. Baginya senja meski indah tapi kehadirannya hanya sebentar dan berganti malam gelap, seperti hatinya yang merasakan keindahan sesaat kemudian menggelap hingga Langit datang. Mampukah Lan...