8. Langit Lazuardi

504 129 16
                                    

Pandemi virus Corona membatasi ruang gerak setiap manusia. Banyak ruang publik ditutup demi mengurangi penularan. Sekarang meski masih terbatas, orang-orang sudah berkegiatan lagi tentu dengan mentaati protokol kesehatan.

Karena alasan itu pula, Jade mempertimbangkan untuk refreshing di ruang terbuka. Ia mengajak istrinya dan Jingga ke lapangan Rampal. Sebuah definisi jalan-jalan murah meriah tapi ujungnya loreng juga, loreng juga.

Setelah parkir mobil, Jingga bersama Jade dan Indranila memasuki area lapangan.

"Mau olahraga kita di sini?" tanya Jingga sambil menatap sekeliling.

"Kalau kamu mau," jawab Jade santai.

"Yeu!" dengkus Jingga.

"Siapa tahu ketemu jodoh di sini," celetuk Indranila seraya terkekeh.

"Nggak mau mikirin itu dulu ah," tolak Jingga cepat.

"Hei, Mbakmu bener loh. Siapa tahu ternyata ada cowok serius yang langsung ngajak nikah nggak pakai lama. Rezeki kita nggak tahu, Dek," nasehat Jade.

"Mas Jade!" panggil seseorang dari arah depan ketiganya.

"Hei, Langit!" sapa Jade dengan senyum lebar.

Jingga memperhatikan lelaki muda yang tingginya kurang lebih sama dengan Jade, berperawakan tegap, kulit sawo matang kalau tak bisa dibilang gosong, rambut pendek nyaris cepak. Dari cara jalan dan perawakannya, ia curiga jika lelaki itu tentara juga. Pertama, Malang dari ujung ke ujung banyak komplek TNI, khususnya angkatan darat. Kedua, mereka sedang di lapangan Rampal di mana berseberangan dengan salah satu batalyon. Ketiga, Jade itu tentara. Nah, lelaki itu masuk kategori yang mana lingkungannya?

Langit, lelaki muda itu kini sudah mendekat lalu mengangkat sebelah tangannya menyapa. "Nggak sangka ketemu di sini juga," katanya sambil terkekeh.

Kebetulan Jingga yang berdiri sedikit di belakang Jade merasa memiliki ruang tersendiri untuk berpikir bahwa Langit kemungkinan besar memang tentara.

"Mbak Nila apa kabar?" sapa Langit ramah. "Lazuli katanya habis cuti ya? Sayang nggak sempat ketemu."

"Baik, alhamdulilah," sahut Indranila. "Iya nih. Tak pikir kamu bakalan main ke rumah."

Langit tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Nggak bisa."

"Oh ya, kenalin nih Jingga, adeknya tetangga sebelah." Jade memperkenalkan Jingga.

"Jingga?" Kedua alis Langit terangkat naik.

Jade dan istrinya menatap Langit heran lalu pemahaman merasuki otak keduanya yang membuat suami-istri itu terkekeh.

"Ya, Jingga," ulang Jade lagi.

"Kenapa sama namaku? Pasaran?" cetus Jingga tak nyaman seperti ada kode-kode beterbangan tapi ia tak bisa membacanya.

Jade mengangguk. "Dia Langit, tetanggaku dulu di komplek. Teman SDnya Lazuli juga."

Kening Jingga mengernyit dalam. "Komplek? Emang Mas Jade pernah dinas di mana selain di Malang?"

"Komplek AU dong, rumah sewaktu Ayahku masih dinas. Tetangga lama," jawab Jade dengan senyum lebar.

"Oh, halo," sapa Jingga pada Langit sembari tersenyum dan menangkupkan kedua tangannya.

Ia baru tahu jika ayah Jade dan Lazuli purnawirawan TNI AU. Mungkin karena tak ada foto beliau berseragam loreng Swa Bhuwana Paksa atau PDH di rumah Jade. Atau ... dirinya yang tak melihatnya?

"Halo," balas Langit pendek dengan senyum tipis dan anggukan kepala.

"Cari tempat yuk?" ajak Indranila.

Langit Jingga (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang